skriptorium beryl

literature & spiritual combination

August 06, 2009

Bahasa Rindu

akhirnya, aku membahasakanmu dalam setiap tetes air mata yang merindu. menggenggammu bersama titik embun yang semalam meningkahi fajar, menunggu waktu, menepi kemudian singgah di selasar rumahku. bukan! kau tidak singgah melainkan meminangku. kau datang tanpa seucap kata, tatapmu memberi seribu pertanda. sebuah maha karya yang begitu jelita.

namun, pernah kau lihat bagaimana mentari menyapa pagi? atau kemarau yang merindukan gerimis di tengah padang gersang? kau adalah mawar terindah di taman kata. bidadari nan santun dari kepungan pulau di antara banyak pemuja. ya! telah tiga belas purnama kita menyapih sukma di tepian muara dan memintal sutera yang menutupi pesona wajahmu menyandingi embun di sepasang mata indahmu.

ingin munajat ini kuikat bersama rerumpun ilalang kesukaanmu. menyenandung irama surga yang kau beritakan kepadaku. mungkin kita telah menyatu, mungkin kita utuh, mungkin hatimu rapuh, atau aku adalah rusuh. lalu kau tahu bagaimana aku memujamu?

sampai kini kau masih berkisah akan senja yang pernah hilang. menyisakan luka demi menjaga hati lain hawa untuk tetap berbunga. inilah isyarat yang selalu kutitipkan pada bebaris puisi. pertanda yang mungkin kau tak mengerti, kristal yang kupungut dari telaga matamu telah kusulam menjadi mutiara. hanya untukmu dalam setiap dukamu.

ah, akhirnya aku belajar mengeja rindu dari embun dan senja yang kau titipkan padaku. hingga aku tahu, singgasana ini hanyalah untukmu.

Bandung, 29 Juli 2009

aku tidak ingin kau pecah. namun,
kau memintaku melemparkan batu
pertanda kita musnah dalam cinta

Bandung, 17 Juli 2009

dirimu, atau
dirnya

aku mengeja isyaratku
bukan di matamu

Bandung, 06 Juli 2009

aku cinta kepadaNya
kamu cinta kepadaNya

Dia cinta kepadaku
Dia cinta kepadamu

kamu cinta kepadaku
kita saling menyinta
namun, aku tidak memilihmu

Bandung, 06 Juli 2009

aku membaca isyaratmu, semalam
purnama tak bergenap
dalam kopi yang kau seduh untuknya.

Bandung, 05 Juli 2009

sudah tujuh purnama aku tidak melukismu
yang kuingat dulu hanya kuas dan
secarik kertas lusuh di depan mataku
ingin rasanya melukis cinta itu
kembali di matamu walau tanganku
tak mampu menggenggam ronamu.

masih kau ingat,
lembar kisah yang sempat memudar dulu
kutoreh tepat bersama genap purnama tengah malam
aku baru tahu jika ia berbahasa
mencumbu langit dan tenggelam
bercelupan tinta hitam
kupikir biru kesukaanmu.

namun, sekali lagi aku bukan pujangga
atau dewa-dewa romatisme yang kau kenal
dalam abad bahkan dekade-dekade langkahmu
menjejak kemudian pergi bergitu saja
dan juga, aku bukan seorang hais
meminta laila dalam setiap air matamu.

cukup ini saja,
kau tak pernah tahu dan
aku tak ingin tahu
apakah cinta yang membatu
atau kita yang membisu.

Bandung, 30 Juni 2009


Kahlil Gibran lahir pada tanggal 6 Januari 1883 di Beshari, Lebanon. Beshari sendiri merupakan daerah yang kerap disinggahi badai, gempa serta pertir. Tak heran bila sejak kecil, mata Gibran sudah terbiasa menangkap fenomena-fenomena alam tersebut. Inilah yang nantinya banyak memperngaruhi tulisan-tulisannya tentang alam.

Pada usia 10 tahun, bersama ibu dan kedua adik perempuannya, Gibran pindah ke Boston, Amerika Serikat. Tak heran bila kemudian Gibran kecil mengalami kejutan budaya, seperti yang banyak dialami oleh para imigran lain yang berhamburan dating ke Amnerika Serikat pada akhir abad ke-19. Keceriaan Gibran di bangku sekolah umum di Boston, diisi dengan masa akulturasinya maka bahasa dan gayanya dibentuk oleh corak kehidupan Amerika. Namun, proses Amerikanisasi Gibran hanya berlangsung selama tiga tahun karena setelah itu dia kembali ke Beirut, di mana di belajar di Madrasah Al-Hikmat (School of Wisdom) sejak tahun 1898 sampai 1901.

Selama awal masa remaja, visinya tentang tanah kelahiran dan masa depannya mulai terbentuk. Tirani kerajaan Ottman, sifat munafik organisasi gereja, dan peran kaum wanita Asia Barat yang sejadar sebagai pengabdi, mengilhami cara pandangnya yang kemudian dituangkan ke dalam karya-karyanya yang berbahasa Arab.

Gibran meninggalkan tanah airnya lagi saat ia berusia 19 tahun, namun ingatannya tak pernah bisa lepas dari Lebanon. Di Boston dia menulis tentang negerinya itu untuk mengekspresikan dirinya. Ini yang kemudian justru memberinya kebebasan untuk menggabungkan 2 pengalaman budayanya yang berbeda menjadi satu.

Gibran menulis drama pertamanya di Paris dari tahun 1901 hingga 1902 pada usianya menginjak 20 tahun. Karya pertamanya, “Spirits Rebellious” ditulis di Boston dan diterbitkan di Ney York, yang berisi empat cerita kontemporer sebagai sindiran keran yang menyerang orang-orang karup yang dilihatnya. Akibatnya, Gibran menerima hukuman berupa pengucilan dari gereja Maronite. Akan tetapi sindiran-sindiran Gibran itu tiba-tiba dianggap sebagai harapan dan suara pembebasan bagi kaum tertindas di Asia Barat.

Masa-masa pembentukan diri selama di Paris cerai berai ketika Gibran menerima kabar dari Konsulat Jendral Turki, bahwa sebuah tragedy telah menghancurkan keluarganya. Adik perempuannya yang paling muda berumur 15 ahun, Sultana, meninggal karena TBC.

Gibran segera kembali ke Boston. Kakanya, Peter, seorang pelayan toko yang menjadi tumpuan hidup saudara-saudara dan ibunya juga meninggal karena TBC. Ibu yang memuja dan dipujanya, Kamilah, juga telah meninggal dunia karena tumor ganas. Hanya adiknya, Marianna, yang masih tersisa, dan ia dihantui trauma penyakit dan kemiskinan keluarganya. Kematian anggota keluarga yang sangat dicintainya itu terjadi antara bulan Maret dan Juni tahun 1903. Gibran adan adiknya lantas harus menyangga sebuah keluarga yang tidak lengkap ini dan berusaha keras untuk menjaga kelangsungan hidupnya.

Pada tahun 1908 Gibran singgah di Paris lagi. Di sini dia cukup senang karena secara rutin menerima cukup uang dari Mary Haskell, seorang wanita kepala sekolah berusian 10 tahun lebih tua namun dikenal memiliki hubungan khusus dengannya sejak masih tinggal di Boston. Dari tahun 1909 sampai 1910, dia belajar di School of Beaux Arts dan Julian Academy. Kembali ke Boston, Gibran mendirikan sebuah studio di West Cedar Street di bagian kota Beacon Hill. Ia juga mengambil alih pembiayaan keluarganya.

Pada tahun 1911 Gibran pindah ke kota Ney York. Di New York Gibran bekerja di apartemen sudionya di 51 West Tenth Street, sebuah bangunan yang sengaja didirikan untuk temnpat ia melukis dan menulis.

Sebelum tahun 1912 “Broken Wings” telah diterbitkan dalam bahasa arab. Buku ini bercerita tentang cinta Selma Karami kepada seorang muridnya. Namun, Selma terpaksa menjadi tunangan kemenakannya sendiri sebelum akhirnya menikah dengan suami yang merupakan seorang uskup yang oportunis. Karya Gibran ini sering dianggap sebagai otobiografinya. Cetakan pertama “Broken Wings” ini dipersembahkan untuk Mary Haskell.

Gibran sangat produktif dan hidupnya mengalami banyak perbedaan pada tahun-tahun berikutnya. Selain menulis dalam bahasa Arab, dia juga terus menyempurnakan penguasaan bahasa Inggrisnya dan mengembangkan kesenimanannya. Ketika terjadi perang besar di Lebanon, Gibran menjadi seorang pengamat dari kalangan nonpemerintah bagi masyarakat Syria yang tinggal di Amerika.

Sebelum tahun 1918, Gibran sudah siap meluncurkan karya pertamanya dalam bahasa Inggris, “The Madman”, “His Parables and Poems”. Persahabatan yang erat anatar Mary tergambar dalam “The Madman”. Setelah “The Madman”, buku Gibran yang berbahasa Inggris adalah “Twenty Drawing”. 1919; “The Forerunne”, 1920; dan “Sang Nabi” pada tahun 1923, karya-karya itu adalah suatu cara agar dirinya memahami dunia sebagai orang dewasa dan sebagai seorang siswa sekolah di Lebanon, ditulis dalam bahasa Arab, namun tidak dipublikasikan dan kemudian dikembangkan lagi untuk ditulis ulang dalam bahasa Inggris pada tahun 1918-1922.

Pada tahun 1920 Gibran mendirikan sebuah asosiasi penulis Arab yang dinamakan Arrabithah Al Alamia (Ikatan Penulis). Tujuan ikatan ini merombak kesusastraan Arab yang stagnan. Seiring dengan naiknya reputasi Gibran, ia memiliki banyak pengagum. Salah satunya adalah Barbara Young. Ia mengenal Gibran setelah membaca “Sang Nabi”. Barbara Young sendiri merupakan pemilik sebuah took buku yang sebelumnya menjadi guru bahasa Inggris. Selama 8 tahun tinggal di New York, Barbara Ypung ikut aktif dalam kegiatan studio Gobran.

Gibran menyelesaikan “Sand and Foam” tahun 1926, dan “Jesus the Son of Man” pada tahun 1928. Ia juga membacakan naskah drama tulisannya. “Lazarus” pada tanggal 6 Januari 1929. Setelah itu Gibran menyelesaikan “The Earth Gods” pada tahun 1931. Karyanya yang lain “The Wanderer”, yang selama ini ada di tangan Mary, diterbitkan tanpa nama pada tahun 1932, setelah kematiannya. Juga tulisannya yang lain “The Garden of the Prophet”.

Pada tanggal 10 April 1931 jam 11.00 malam, Gibran meninggal dunia. Tubuhnya memang telah lama dogerogoti sirosis hati dan TBC, tapi selama ini ia menolak untuk dirawat di rumah sakit. Pada pagi hari terakhir itu, dia dibawa ke St. Vincent’s Hospital di Greenwich Village.

Hari berikutnya Marianna mengirim telegram ke Mary di Savannah untuk mengabarkan kematian penyair ini. Meskipun harus merawat suaminya yang saat itu juga menderita sakit, Mary tetap menyempatkan diri untuk melayat Gibran.

Jenazah Gibran kemudian dikebumikan tanggal 21 Agustus di Ma Sarkis, sebuah biara Carmelite di mana Gibran pernah melakukan ibadah.

Sepeninggal Gibran, Barbara Younglah yang mengetahui seluk-beluk studio, warisan dan tanah peninggalan Gibran. Juga secarik kertas yang bertuliskan, “Di dalam hatiku masih ada sedikit keinginan untuk membantu dunia Timur, karena ia telah banyak sekali membantuku.”

Disadur dari Cara Asyik menjadi Penulis Beken oleh Agunk Irawan MN



Victor Hugo dilahirkan di Besancon, Perancis, 26 Februari 1802. Nama lengkapnya adalah Victor Marie Comte Hugo, putra seorang jenderal yang cukup terkemuka di zaman Napoleon. Ayahnya pernah menjadi gubernur di Spanyol dan Italia. Sejak usia lima belas tahun, ia telah menulis puisi. Pada tahun 1817, ia mendapat pujian dalam sayembara yang diadakan Akademi Perancis. Lalu pada tahu 1819, ia memperoleh hadiah sastra dari Academic des Jeux Floraux de Toulouse.

Victor Marie Hugo adalah salah satu penulis aliran romantisme pada abad ke-19 dan sering dianggap sebagai salah satu penyair terbesar Perancis. Karya puisinya yang dianggap sangat menonjol di antaranya adalah Les Contemplations dan La' Legende des siecles. Walaupun sangat konservatif pada masa mudanya, ia berpindah ke aliran kiri pada masa tuanya. Ia menjadi pendukung aliran republikanisme dan Uni Eropa. Hasil karyanya menggambarkan hampir semua isu politik dan social, serta kecenderungan artistik pada zamannya.

Hugo menduduki tempat terhormat dalam sastra Perancis abad ke-19. Tahun 1822, terbitlah kumpulan puisinya. “Odes et Ballades” yang berhasil menarik simpati publick Tahun 1823, novel pertamanya, “Han d’Islande”, terbit dan merupakan buku hadiah perkawinannya dengan Adele Foucher (1822). Rumah pasangan ini menajdi tempat pertemuan kaum romantis Perancis, seperti Charles Augustin Sainte Beuve, Alfred de Vigny, de Musset, Marimee, Nerval, Gautier, Alexander Dumas, dan lain-lain.

Dramanya yang pertama berupa epos Cromwell (1827) dan dramanya yang tersohor adalah Hernani (1830), Le Roi s’Asmuse (1832), Marie Tudor (1833), dan Ruy Blas (1838). Selama tujuh belas tahun sejak penerbitan pertama karya puisinya, ia telah menerbitkan sejumlah kumpulan esai, toga novel, dan lima kumpulan puisi. Masing-masing kumpulan puisinya yang penting itu adalah Les Orientales (1828), Feuilles d’Automne (1831), Les Voix Interieures (1837), dan Les Ratons et Les Ombres (1840).

Sementara dua romannya yang sangat masyhur adalah “Notre Dame de Paris” (1831), dan “Les Miserables” (1862). “Les Miserables” yang diterbitkan secara serentak ke dalam sembilan bahasa pada tahun 1862 adalah sebuah kisah luar biasa berlatar kekacauan politik di Perancis pada era sesudah kekuasaan Napoleon.

Melewati masa panjang dalam sejarah Perancis, Victor Hugo mengalami dan mengikuti kegiatan pemerintahan hingga saat rezim yang berkuasa jatuh dan ia ikut terusir. Namun, pengalaman itu memperkaya wawasannya dalam kesusastraan. Masa-masa pengasingannya di luar negeri menjadi bagian dari kegiatannya belajar dan menulis sampai sekembalinya ia ke Perancis setelah runtuhnya Kekaisaran Kedua (1870) dan berdirinya Republik Ketiga, di mana ia ikut ambil bagian dalam lembaga legislatif. Dalam dua dekade terakhir masa hidupnya, Hugo mengalami duka cita akibat kematian orang-orang yang dicintainya: putranya, istrinya, dan kekasihnya. Namun, hal ini justri mencambuk dirinya untuk lebih banyak menulis.

Ketika ia meninggal dunia tanggal 22 Mei 1885, peti jenazahnya diarak dalam suatu prosesi nasional yang agung. Prosesi tersebut bermula dari Arch de Triomphe (monument kemenangan yang terdapat di jantung kota Paris) ke Pantheon (gedung monument megah di Paris, tempat abu jenazah tokoh-tokoh terkenal disemayamkan, di antaranya Rousseau dan Voltaire). Karya-karya Hugo merupakan karya yang banyak memberi landasan yang kuat dan kukuh dalam aliran romantik yang dipeloporinya. Ia menulis dalam semua genre sastra, termasuk bidang kiritk, studi, dan esai-esai yang tajam.

Disadur dari Cara Asyik menjadi Penulis Beken oleh Agunk Irawan MN

June 30, 2009

Tidurholic

Tidur itu sebuah kenikmatan yang luar biasa bagi saya. Bagi orang-orang mungkin biasa saja karena itu lumrah. Setiap orang pasti perlu tidur sebagai ajang balas dendam dari aktivitas seharian yang melelahkan. Tapi tidak banyak yang porsi tidurnya tercatat berlebihan dalam aktivitas kesehariannya. Mungkin secara eksplisit dapat dikatakan bahwa tidur adalah sebuah hobi yang cukup digandrungi.

Salah satu diantara mereka yang hobi tidur ini adalah saya. Saya menyebutnya hobi karena saya tidak pernah memeriksakannya ke dokter atau ke dukun sekalipun. Kalau ini penyakit, ya saya anggap ini penyakit yang tidak ingin saya sembuhkan. Walau kadang hobi ini sering membuat saya sedikit kelimpungan ketika beraktivitas. Tapi namanya juga hobi, suka-suka donk. Let it flow gitu dech

Semasa Sekolah Menengah tingkat pertama, hobi ini sudah menggandrungi aktivitas saya. Mulai tidur di malam hari, tidur di saat jam pelajaran, tidur siang sepulang sekolah, sampai tidur petang usai olah raga dan kembali lagi tidur di malam hari. Berulang setiap 24 jam perhari, 7 hari perminggu, 4 minggu perbulan dan 12 bulan pertahun. Nggak nyangka hobi ini semakin menggila sampai akhir Sekolah Menengah.

Masih ingat kejadin semasa tingkat pertama, ketika jam pelajaran masih berlangsung. Saat itu saya sedang mendengarkan musik melalui headset yang sengaja saya pakai diam-diam. Pelajaran Pendidikan Seni saat itu membuat saya bosan dan mengalihakn pikiran saya untuk segera membuka mulut dan menguap selebar-lebarnya. Saya yang duduk di barisan kedua dari belakang tepat di pojok kiri kelas membuat saya laluasa untuk merebahkan kepala dan tidur seperti biasa. Ngantuknya nauzubillah

Hingga akhirnya sesuatu yang tak terduga terjadi, ini gara-gara Almas –teman sebangku saya- yang super usil mulai menjalankan rutinitasnya sehari-hari untuk mempermalukan orang lain dan saat itu sayalah yang apes.

“Oi Rud, bangun! Dipanggil Pak Samsul tuh.” Almas berbisik setengah keras ketelingaku.

Saya membuka mata perlahan dan luwesnya berkata setengah berteriak dengan jujur, adil, lugas, bebas dan tulus. “Ada apaan?”

Sedetik kemuadian saya menangkap puluhan pasang mata menatapku heran. Ada yang cekikian, ada yang cemberut, ada yang senyum-senyum, bahkan ada yang ngupil.

Almas melepaskan headset dari telingaku, “Itu dipanggil Pak Samsul.”

Aku kelimpungan dan berbisik ke Almas, “Eh, ada apaan?”

“Karena kamu pake headset, beliau minta kamu untuk mengekspresikan apa yang kamu dengar.” Almas juga menjelaskan sambil berbisik.

“Ekspresikan apa yang kamu dengar? Nggak salah?” Tanyaku penasaran pada Almas yang hanya senyum sambil mempermainkan alisnya. Sesekali saya melirik ke arah sang guru. Dasar guru aneh, bukannya dimarahin malah minta ekspresi-ekspresian.

Di depan kelas, saya hanya diam saja. Melihat sang guru yang hanya tersenyum dan mempersilahkan saya untuk melakukan tugasnya. Ragu-ragu saya lemparkan pandangan ke seluruh kelas. Asli itu adalah tiga detik terlama bagi saya, serasa satu tahun.

Tanpa ba-bi-bu dan dengan wajah setebal tembok 2 meter. Saya joget ala hip-hopnya Usher yang sedang hits saat itu. Sambil joget, saya perhatikan seisi kelas hanya diam dan terprangah melihat saya. Entah apa yang ada dalam pikiran mereka, yang jelas hidupku hancur saat itu. Harga diriku jatuh drastis. Ada yang menganga kaget, tertawa sambil menutup matanya mungkin dia takut lihat gajah lagi jingkrak-jingkrak di depan kelas, ada yang loncat-loncat sambil muntah-muntah, lempar kursi, sampai pak Samsul ikut-ikutan benturin kepalanya ke tembok.

Saya yang masih joget langsung bingung tujuh keliling. Terang saja saya berhenti joget dan bertanya kepada pak Samsul atas pertanyaan yang ia ajukan.

“Pak, mang pertanyaannya apa ya?” Tanyaku polos.

Masih sambil tertawa dan benturin kepalanya, “Kamu ini aneh-aneh aja. Saya minta kamu untuk menuliskan apa yang kamu dengar.”

Kontan seisi kelas tertawa semakin keras. Semakin berdarah-darahlah tuh kelas dan hancur. Apalagi hidupku, makin hancur. Ya Allah, ampuuunn….

Hal itu membuat saya semakin terkenal saja, apalagi saat duduk di tingkat tiga. Hobi saya semakin menggila. Tidak hanya tidur di kelas saat tingkat pertama, membawa sepeda ke sekolah juga tak lepas dari hobi saya. Sampai-sampai hal yang memalukan pun kembali terjadi. Upacara bendera pun saya sempat tidur sambil berdiri. Saat itu saya kebagian menjadi pemimpin regu (baca: pemimpin barisan kelas). Tentu saja saya menjadi pemimpin regu bukan tanpa perdebatan alot. Karena saya mulai sadar untuk menghilangkan hobi yang menyusahkan ini, teman-teman dan wali kelas pun memberikan kesempatan.

Tapi, lagi-lagi…

Saya mendengar suara narator lamat-lamat yang semakin lama semakin menghilang, PENGHORMATAN KEPADA PEMIMPIN UPACARA!

Saat itu saya tertidur dan tidak memberikan perintah yang seharusnya menjadi tugas saya. Rina, betubuh mungil yang berdiri di samping saya menyenggol badan saya untuk membangunkan saya dari tidur yang sudah mempermalukan saya juga seisi kelas. Tapi, saya malah BRUK… jatuh dan ngorok tanpa dosa.

Sudah tiga tahun saya rela hidup dengan hobi ini. Tidak ada konfrontasi. Walau ibu saya sudah meminta saya untuk mengatur pola tidur dan kegiatan, saya manut mengikuti sarannya. Tapi, masih saja hobi tidur ini tidak bisa diajak kompromi. Tapi ibu memang tak pernah berhenti untuk selalu mengasihi anaknya. Setiap pagi sebelum Subuh saya selalu dibangunkan oleh usapan halus dan kecupan hangat dikening serta bisikan yang selalu membuat saya semakin nyenyak –nah lo, kapan bangunnya ya? he… he… he…-

Hingga suatu hari ibu pernah jengkel melihat kelakuan saya yang tidak berubah. Masih saja seperti anak kecil yang selalu minta dibangunkan dari mimpinya.

“Nak, bangun udah jam setengah lima. Sebentar lagi Subuh. Buruan cuci muka dan sikat gigi.” Ibu menepuk kaki dan menusap kepala saya seperti biasa.

“Hm… Ia, nanggung lima menit lagi ya.” Saya berseru dengan nada sangat berat bahkan melawan kantuk pun tak kuasa.

Tak ada teguran lagi setelah itu, saya menunggu lima menit dengan masih tidur pulas dan mengiran-ngira lamanya lima menit lewat hitunganku di alam mimpi.

“Nak, bangun!” Sepertinya ibu mulai jengah, lamat-lamat saya dengar suaranya yang sedikit berubah dan gumamannya yang mulai panjang. Saya menaruh firasat bakalan di-byur.

“Eh, iya… iya.” Langsung saja saya bangun dan tidak menuju kran air. Saya berjalan menuju dapur melewati ruang santai dengan tertatih-tatih dan…

BRUKK!!!

Kaki saya menyandung sebuah bantal besar berukuran satu kali satu meter yang biasa digunakan untuk tiduran di ruang santai. Saya terjatuh dan akhirnya kembali ke alam mimpi.

Sejak saat itu ibu semakin tidak percaya membiarkan saya pergi ke dapur sendirian untuk berwudhu. Mungkin ia ingin saya bisa lebih mandiri. Shalat saja nggak bisa bangun sendiri apalagi mandi sendiri –eh salah ding-.

Takut dicap sebagai anak durhaka, akhirnya saya berinisiatif untuk bangun sendiri dengan menyetel weker di handphone saya. Menunjukkan pukul 2 dini hari dan setengah 5 pagi. Saya pasang dengan volume ringtone yang super guede agar saya bisa bangun. Sehari, dua hari, tiga, hari dan…tetap saja ibu masih setia membangunkan saya –waduh-.

“Udah! Mulai saat ini nggak usah nyetel weker lagi! Nyetel weker tapi nggak bangun-bangun. Tiap hari tetap aja mama yang bangunin! Udah suaranya gede lagi!” Ibu ngamuk-ngamuk sambil bawa parang.

Hua… mama apmuni anakmu ini. Hiks.

Mulai saat itu…. Eh, nggak ding. Akhirnya saya nyadar juga kalau saya masih nggak bisa meninggalkan hobi saya sampai kuliah saat ini.

He… he… he… kebayang kan kalau setiap pagi masih aja ada ibu yang nemenin shalat walau hanya lewat handphone.


Leo Tolstoy lahir di desa kecil Yasyana, Polyana, pada tanggal 28 Agustus 1828. Terlahir dengan nama asli Lev Nikoyevich Tolstoy sebagai putra keempat dari pasangan Nikolay Ilych Tolstoy dan Maria Nokolayevna. Ia sudah menunjukkan bakat menulis sejak berumur dua belas tahun dengan karya sastra pertamanya, sajak “Untuk Bibi Terkasih”.

Kegiatan tulis-menulis Tolstoy dimulai pada tahun 1951. Pengalaman semasa di angkatan perang terungkap dalam karya-karya pertama Tolstoy yang semakin hari semakin mendapat pujian dari beberapa kritisi terkenal. Dua tahun kemudian, Tolstoy mulai mempersiapkan sebuah karya Perang dan Damai. Salah satu bentuk persiapan itu berupa partisipasi aktif sebagai tentara memerangi pasukan Turki. Walaupun hanya sebentar, keterligatan Tolstoy dalam peperangan cukup member bekal yang memadai untuk melahirkan karya fiksi mengenai kehidupan seorang tentara. Salah satu cerita panjang terbaiknya dari periode ini adalah Dua Prajurit Berkuda.

Lebih dari sekadar melontarkan kritik atau mengangkat tema-tema kerakyatan, Tolstoy melangkah jauh ke depan dibandingkan dengan tokoh-tokoh lain di masanya. Ia melepaskan gelar kebangsawanannya, melakukan aktivitas seperti konsep kadesi, menerbitkan majalah sastra budaya, serta merenovasi kembali sekolah yang didirikannya di Yasnaya Polyana pada tahun 1862. Tolstoy bahkan mengidentifikasikan dirinya sebagai petani Rusi biasa. Selain itu, ia pun mulai menerbitkan buku-buku tipis dengan harga murah agar terjangkau oleh kantong rakyat biasa. Dapat dikatakan bahwa terjadi perubahan besar-besaran pada diri Tolstoy. Sejalan dengan hal itu, karya-karya Tolstoy semakin terasa menggigit dan bakat menulisnya pun semakin menonjol walaupun untuk menghasilkan suatu karya, kadang-kadang ia memerlukan waktu bertahun-tahun untuk menyelesaikannya.

Namun yang pasti, Leo Tolstoy memang memiliki pemikiran-pemikiran yang hakiki, bahkan kadang-kadang progresif tentang kebijakan, cinta, kemasyarakatan, maupun keagamaan untuk ukuran zamannya ketika itu. Sayangnya, tidak semua karyanya sempat diselesaikan. Akan tetapi, dari sejumlag kreasinya, Tolstoy tetap membuktikan dirinya sebagai master of thinking handal.

Pengamatan Tolstoy terhadap perilaku manusia, khususnya wanita, cukup mengejutkan juga. Bahkan dalam beberapa karyanya, tema wanita ia angkat menjadi tema sentral, terutama yang menyangkut masalah status sosial dan pergeseran nilai-nilai kewanitaan yang berlaku. Pernikahan yang tanpa dilandasi cinta melainkan status sosial semata, konflik-konflik keluarga akibat desakan serta tuntutan zaman, serta situasi tragis yang sering melanda kehidupan keluarga modern mendominasi karya ulung Tolstoy lainnya, yaitu Anna Karenina.

Dalam Anna Karenina, Tolstoy seakan-akan meneropong perkawinan Anna dan Karenin yang tidak didasari oleh cinta. Terjalinlah jalinan percintaan gelap Anna dengan seorang pemuda lain. Karenin yang terkungkung oleh status kebangsawanannya tidak menginginkan perceraian sekalipun Anna sudah hidup bersama dengan kekasihnya secara tidak sah. Ternyata keputusan Anna tersebut tidak membuahkan kebahagiaan. Untuk mengakhiti konflik psikologisnya yang sudah sedemikian rumit, Anna memutuskan untuk bunuh diri.

Sejak menyelesaikan karyanya, Perang dan Damai, pada tahun 1870, Tolstoy mengalami krisis kejiwaan mengenai ketuhanan. Ia menjadi lebih perasa dan sangat moralis. Ia juga mnejadi pembenci dan pengecam semua aliran seni. Ia sangat menjadi asketis. Ia menyerahkan semua kekayaannya untuk kaum miskin hingga berselisih dengan istrinya, Sophia Andreyevna. Ini yang membuat keduanya kemudian berpisah. Tak hanya sampai di situ, ia juga menjadi vegetarian dan berpakaian tak ubahnya kaum pengembara. Bahkan ia juga menolak institusi gereja dan pemerintah.

Pada saat-saat terakhir penyelesaian Anna Karenina, Tolstoy berhasil mengatasi krisis religiusnya, seperti tergambar pada karya tersebut. “Arti hidup, termasuk kehidupan itu sendiri, hendaknya disesuaikan dengan kebaikan batin seseorang, sebab hanya melalui kepercayaan terhadap perasaan hati dan taat pada ajaran keagamaan, seorang dapat menemukan kebahagiaan yang wajar,” demikian pendapat Tolstoy. Pandangan seperti itu terasa semakin menarik untuk disimak sebab diketengahkan oleh seorang Tolstoy.

Pada tahun 1910, kesehatan Tolstoy makin memburuk, ia kerap bertanya tentang istrinya, Sophia, namun anak-anaknya kerap mengalihkan pertanyaan itu. Padahal saat-saat itu Sophia sebenarnya telah tinggal di depan rumahnya, merasakan kesakitan yang sama. Namun pada tanggal 5 Nopember 1920, setelah beberapa kali gagal jantung, mautpun akhirnya menjemput penulis besar itu.

Disadur dari Cara Asyik menjadi Penulis Beken oleh Aguk Irawan MN

: Anisa

seperti bermimpi, kudengar petikan kecapi dengan gumam lirih di sampingku, seraut wajah menawan bagaikan purnama di genting kaca, aku tertawan. di telaga ini kau pinta mahkota sedang aku hanya jelata dalam balada-baladaNya, apakah kau akan pergi, bersama debu, tempias di repihan celana panjangku.

lihat, lihat apa yang kupunya! bukan bahtera yang kuikat apalagi kencana bersayap emas. hanya di ujung sana sebuah teja yang semakin jingga, terikat bersama camar berabad lalu, tapi tak pernah rapuh dan selembar roti cokelat ini entah siapa yang akan kubagi.

kau bergumam lagi seperti nyanyian peri, pernah kudengar seabad lalu tepat di telaga ini, berbisik, hanya berbisik kemudian sirna. apakah kau ia yang hilang itu, kau tak menjawab, tapi…

lagi kau bergumam, kau tak memetik kecapi, genggamanmu tepat menusuk jantungku. izinkan aku menikmati sebagian roti cokelat itu, pintamu.

hingga akhirnya aku tahu, mahkota yang hilang dalam sebuah balada seabad lalu. dan saat itu, petang menuju sukma-sukma kita yang lebih dahulu bersenggama, menirwana. utuhlah cahaya kita. utuhlah cinta kita. utuh.

Bandung, 24 Juni 2009. 08.42pm

malam ini kita duduk berdampingan, di atas perahu yang kupalu tadi pagi bersama wewangian mawar. menanti hujan yang tak kunjung datang, padahal menyapa mereka adalah isyarat sebuah pertemuan. kau bilang mereka titisan bunga ilalang yang bertandang bersama peri mungil. bagiku mereka tak sekadar itu, ya! merekalah perapian abadimu, sedang aku hanya penyair biasa tanpa sebuah nama.

kita masih beradu, apakah pesan yang kuselipkan padamu sudah kau eja? bahkan masih mengatruh, mengapa diam menjadi candu yang semakin berbahasa. jangan kau tuang lagi bersama lembaran naskahmu yang terbakar, aku masih ingin menitis bebaris liris. padahal samudera masih begitu luas tak habisnya dan biarkan kopi itu tetap hangat layaknya seduhan pertamamu.

dan malam ini kita duduk beralaskan bebunga melati dengan perapian yang kita sulam bersama sesisa waktu. bintang berkedip pada kita, mungkin mengiri kita saling bersentuhan. kain kafan yang kita kenakan kini tak mengartikan kenangan. ia menguning, entah karena ia lupa kita telah bercumbu atau bersetubuh dengan aksara semalam lalu.

mungkin kita akan menunggu, bagaimana hujan itu luruh di tepian waktu. seperti menanti sempadan senja pada petang, menyanyikan kidung asmara kita dan menikmati selembar roti cokelat. Hanya milik kita.

: Rama
kau tahu mengapa bintang
membiarkan kita mengeja aksaranya
dalam diam yang kita nikmati?

: Anisa
entahlah,
mungkin bintang-bintang itu sengaja
mengajarkan kita akan kata yang tak terucap.
bukankah diam adalah bahasa yang indah?

: Rama
ya! diam adalah bahasa yang indah.

Bandung, 10 Juni 2009. Ba'da Dhuha

: Anisa

syukurlah aku menemukanmu diantara dedaunan rapuh, menguning bersama waktu. memintaku untuk diam bersamamu, menikmati secangkir kopi hangat dan senja yang kaubalut dalam roti cokelat. syukurlah aku mengejamu di setiap tetes embun yang menghangat bersama repihan mentari. mengajakku untuk menari bersamamu, melukis sang awan dengan cinta yang kita ruapkan semalaman suntuk. ya! saat kita menyetubuhi aksara.

tidak perlu ingat kapan kita menata pekarangan di belakang rumah, pun gemericik air yang kita timba dari sumur yang semakin kering. yang kita tahu, dialah candu yang membuat kita menyatu. entah dalam hitungan waktu atau berbatas kenangan berabad lalu.

syukurlah kita bercengkrama lagi, walau kafan yang kita gunakan kini telah jauh berbeda warnanya. mungkin kita pernah saling melupa. ya! melupa karena kita pernah saling menemukan. Merindu karena kita pernah saling bercumbu.

jangan lupa kau catat sebuah pesan pada kertas kecokelatan dan tinta emas yang kuselipkan dalam tas belanjamu. aku hanya ingin engkau tahu, bahwa aku akan selalu merindukanmu pulang bersama waktu.

Bandung, 06 Juni 2009. Ba'da Subuh

May 06, 2009

Sebuah Pengharapan

Mungkin kita tak akan bisa kembali ke masa lalu untuk memperbaiki segalanya. Namun, kita masih punya kesempatan untuk memperbaiki apa yang ada dalam genggaman kita saat ini dan membuat ending yang baru.

April 05, 2009

Sang Waktu

Terkadang kita tak bisa mamaksa waktu untuk sekadar berbagi tempat cerita, berhidangkan teh manis di selsar hati kita. Justru waktu yang akan memaksa kita untuk bertandang ke setiap jengkal kisah perjalanannya.

Di depan kamar operasi aku dan Mas Adi menunggu dengan kecemasan yang sangat. Mas Adi adalah satu-satunya keluarga yang dimiliki istriku. Ayah dan ibu istriku meninggal karena kecelakaan setahun sebelum kami menikah. Aku lebih dulu mengenal Mas Adi ketimbang istriku. Lelaki jangkung dengan tubuh proporsional, berkulit kecoklatan dan mantan pemain basket sama sepertiku. Karena Mas Adi-lah aku diperkenalkan dengan istriku, Tirtir.

Pertama kali mataku berpapasan dengan Tirtir saat aku baru saja selesai membuat jaringan internet dari wajan bolik(5) yang dipesan oleh Mas Adi. Tanpa sengaja aku menemukan sesosok perempuan berparas cantik dengan balutan kerudung berwarna jingga dan jilbab putih yang menjuntai anggun. Hatiku berdebar kencang. Sungguh, saat itu aku hanya ingin segera pulang tanpa tahu siapa dia.


Namun, Allah memiliki skenario lain. Aku dipertemukan kembali dengan perempuan itu di sebuah rumah sakit ketika aku mengantarkan ayahku berobat. Aku pikir ini hanya kebetulan saja namun dokter yang merawat dan mengontrol kesehatan ayahku adalah perempuan yang sama yang kutemui pertama kali di rumah Mas Adi.


Beberapa bulan kemudian ayahku meninggal dan menyisakan kepedihan yang begitu dalam. Mas Adi pun ikut sedih dengan apa yang kuhadapi karena ia pun pernah mengalami hal itu sebelumnya, kehilangan figur yang selalu menyayangi dan mengayomi keluarga. Masih kuingat apa yang dikatakan Mas Adi saat itu bahwa Allah akan mengambil kembali apa yang ia titipkan kepada kita dan pada saat itupula Allah telah menyediakan kado istimewa untuk kita. Sebuah kalimat yang begitu dalam dan menyentuh hatiku.


Dua bulan setelah kepergian ayahku, di situlah Allah memberikan kado istimewa kepadaku. Sebuah kado yang hingga sekarang tetap kujaga. Saat itu Mas Adi memperkenalkanku dengan adiknya, Tirtir. Sebulan kami ta’aruf, akhinya kami pun sepakat untuk memperkuat keimanan dan ibadah kami dengan menikah. Begitulah aku menimbang masa laluku akan Mas Adi dan istriku yang kini tergolek lemah di kamar operasi.


Pintu kamar operasi tiba-tiba terbuka, Dokter Anies keluar dari balik pintu itu. Aku dan Mas Adi menghampiri dia bersamaan dan mempertanyakan kondisi istruku.


“Bagaimana, Nies?” Tanyaku gusar.

Kepala dokter Anies tertunduk sembari ia melepaskan jas putihnya kemudian menggantungkann jas tersebut di lengan kirinya.

“Bagaiamna, Dok?” Mas Adi bertanya tegas.

Dokter Anies menarik nafas panjang dan menghembuskannya kuat. Kepalanya menggeleng, belum sempat ia berkata apapun mataku nanar dan tak tahu lagi harus berbuat apa. Kesedihan itu semakin memuncak, berfluktuasi, dan meledak di dadaku.

Dokter Anies tidak menjawab pertanyaanku dan Mas Adi, dia masih saja diam.

“Kita bicara di ruangan saya.” Sarannya kemudian.

Hatiku berangsur tenang dan kesedihanku yang memuncak berhasil kutahan. Aku tidak ingin membuat semuanya runyam bila aku tidak berpikir dengan jernih.


“Angga, operasinya tidak jadi dilaksanakan. Karena keanehan terjadi.” Anies menerangkan singkat.


“Maksudmu?” Aku mengejar pernyataannya.


Dokter Anies memperbaiki posisi duduknya, tubuhnya yang sebelumnya bersandar pada kursi kini duduk dengan posisi sigap dan menatap kami serius.


“Belum sempat aku dan dokter lainnya menggoreskan pisau bedah di area kanker, pisau itu patah ketika menyentuh kulit istrimu. Tiga kali kami ulangi proses pembedahan namun pisau bedah kembali patah. Kami mengambil keputusan untuk menundanya nanti malam.” Papar Anies.


Aku hanya diam, tak sedikitpun bibirku mampu mengucapkan sepatah katapun. Pikiranku sudah melayang jauh, entah kemana. Apakah ini pertanda ataukah aku yang sengaja membuat pertanda itu ada dalam pikiranku. Yang jelas, aku hanya ingin istriku kembali sembuh seperti semula.

Menjelang operasi kedua, aku tidak diijinkan untuk bertemu dengan istriku. Dokter Anies memintaku untuk tenang dan ikuti prosedur yang ada. Aku hanya bisa pasrah, dan sesenggukan. Mas Adi yang berada di sampingku membiarkanku menangis, ia hanya merangkul pundakku dengan cengkraman yang kuat. Aku tahu, ia memintaku untuk tegar.

“Mau aku ceritakan tentang kepergian almarhum mertuamu?” Tanyanya padaku.

Aku diam, tak menjawab pertanyaannya.

“Ayah dan Ibu pernah berkata kepadaku juga Tirtir, untuk percaya kepada Allah atas segala sesuatu dan mereka meminta kami agar selalu berdoa kepada-Nya dengan sebuah doa yang begitu indah.” Mas Adi diam sejenak. Perlahan aku menenangkan hati dan mencerna apa yang dikatakan oleh Mas Adi.


“Doa apa itu, Mas?” Tanyaku.

Bismillah tawwakaltu alallah. La haula wala quwata ila billah. Kamu berusaha namun menyerahkan segala usahamu pada Allah, sebab tiada daya upaya selain daya upaya dari Allah semata.”

Tiba-tiba saja hatiku bergetar, doa yang selalu terlantun dari bibir istriku. Ya, doa itu. Doa yang membuatku begitu tenang, begitu teduh dan menyejukkan layaknya hujan dalam kemarau panjang di hatiku.


Proses pengoperasian Tirtir sedang berlangsung. Aku dan Mas Adi masih menunngu di tempat yang sama. Aku tidak bisa tidur malam itu, aku meminta Mas Adi untuk istirahat dan tidur barang sejenak agar nanti bisa bergantian untuk berjaga.

Sudah empat jam menunggu, tak sedikitpun aku mengantuk. Aku masih menunggu hingga pintu ruang operasi terbuka dan aku menghampiri dokter Anies tanpa meghiraukan Mas Adi yang masih terlelap.


Belum sempat aku bertanya pada dokter Anies, dia memintaku untuk tenang. Seraut senyum tergurat diwajahnya.


“Alhamdulillah. Operasinya berhasil, Ngga. Dan Tirtir masih perlu istirahat saja untuk pemulihan.”
Mendengar hal itu membuatku begitu tenang dan lega.

“Kasus ini membuatku belajar akan pertolongan Allah.” Lanjut dokter Anies

Aku hanya mengernyitkan keningku.

“Operasi hanya dilakukan untuk mengangkat kanker itu setelah Allah mengoperasi istrimu dengan Kuasa-Nya.”

“Maksudmu?”

“Allah telah membantu kami untuk mengangkat kanker yang ada dalam kandungan tanpa harus mengangkat ovarium istrimu. Tentunya ini sangat langka terjadi dalam dunia kedokteran.” Jelas dokter Anies.

Aku merasakah getaran yang hebat dalam dadaku. Sungguh Maha Kuasa Allah yang telah memberikn kekuatan-Nya.
***

Beberapa bulan kemudian
Selama pasca penyembuhan Tirtir menunjukkan kesehatan yang sangat baik. Aku semakin yakin bahwa dia sudah mantap untuk menjalani aktifitasnya lagi sebagai dokter. Sepertinya rasa sakit yang ia alami dulu sudah benar-benar hilang dan tak sedikitpun ia mengeluhkannya padaku.

Sejalan dengan rutinitas kami yang biasanya. Aku mendapatkan tawaran bekerja di sebuah instansi telekomunikasi di Bandung. Sungguh aku merasakan kebahagiaan yang berlipat. Terang saja aku mendiskusikannya bersama Tirtir dan kami sepakat agar aku mengambil pekerjaan itu.
Bulan berganti dan kini sudah satu setengah tahun kami sibuk dengan pekerjaan. Sepulang kerja, di bilangan Jalan Raya Bogor daerah KUD aku melihat seorang perempuan hamil di dalam becak yang bergerak lambat. Aku melihat seraut kelelahan dan kesakitan di wajah perempuan itu dengan sesekali ia mengelus perutnya.

Jarak dari KUD menuju rumah sakit terdekat cukup jauh, sekitar tiga kilo. Terang saja aku menghentikan Innova-ku beberapa meter di depan becak tersebut dan meminta perempuan itu ikut bersamaku.

“Terima kasih, Mas. Udah mau bawa istri saya.” Ujar penarik becak yang ternyata suami perempuan itu.

“Mas ikut juga bersama saya, becaknya dititipkan saja dulu.” Saranku.

Sesampainya di rumah sakit aku tidak langsung meninggalkan mereka begitu saja di ruang bersalin, apalagi melihat wajah sang suami --penarik becak tersebut-- yang begitu tegang.

“Tenang, Mas. Serahkan semuanya pada dokter dan perawat yang lebih ahli.” Aku mengajaknya berbicara.

“Insya Allah, Mas. Saya benar-benar khawatir, apalagi ini kehamilan pertama istri saya.”
Aku paham akan kekhawatirannya.

“Yang saya takutkan juga adalah biaya persalinan ini, Mas. Saya hanya penarik becak. Penghasilan saya hanya cukup untuk makan saya dan istri.”

“Jangan khawatir dengan masalah biaya, Mas. Allah selalu memberikan yang terbaik bagi umat-Nya. Insya Allah dan bila Mas mengizinkan, saya akan menanggung biaya persalinan bahkan keperluan bayi Mas nantinya.”

“Terima kasih banyak, Mas. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada istri, anak-anak, dan keluarga Mas.”
Aku hanya tersenyum dan mengaminkan doanya dalam hati.

Dalam perjalanan pulang pikiranku masih tertuju pada penarik becak tadi. Pertemuan itu membuatku merindukan sosok seorang anak yang akan meramaikan rumahku. Sosok yang akan memanggilku ayah. Tak henti aku memohon akan hal itu kepada-Nya. Huff… aku hanya menghela nafas panjang.
***

Waktu menunjukkan pukul sepuluh pagi. Aku harus membawa Tirtir kembali chek up karena ia sering mual dan muntah-muntah bahkan yang membuatku semakin khawatir adalah sering kali ia pingsan. Entah apa yang terjadi padanya. Aku berharap ini adalah sebuah kebaikan.

“Bagaimana, Rum? Apa istri saya baik-baik saja?” Tanyaku pada dokter Arum. Sama seperti dokter Anies, dokter Arum adalah teman semasa sekolahku dulu.

Dokter Arum menyunggingkan senyum dan aku tak mengerti maksud senyumannya, “Selamat! Istrimu sedang hamil tiga bulan.”

Aku benar-benar kaget dengan apa yang dikatakan oleh dokter Arum. Kesedihan dan kebahagiaan menyelimutiku begitu saja. Aku benar-benar bersyukur atas karunia ini. Lagi-lagi Ia memberikan kebahagiaan kepadaku.

Setelah mengantarkan dokter Arum keluar rumah, aku langsung menghubungi Mas Adi untuk memberitahukan berita gembira ini dan memintanya datang kerumahku. Sembari menunggu aku menghampiri istriku yang senyum-senyum melihatku.

“Sayang, Alhamdulillah kita telah diberikan izin untuk memperoleh anak.” Ujarku pada Tirtir.

“Iya, Bi. Umi juga nggak habis pikir begitu besar karunia-Nya pada kita.”

“Mungkin Allah memberikan pesan bagi kita untuk tetap menjaga izzah-Nya dengan apa yang telah kita dapat selama ini.”

“Iya, Bi."

"Sungguh nikmat yang luar biasa. Penyakit Umi yang tiba-tiba saja tidak merusak kandungan Umi dan kini Umi hamil. Ya Allah, kami begitu kecil dan lemah.”


Tirtir tersenyum, “Semoga kita bisa menjaga amanah ini dengan baik, ya. Sebening kasih-Nya pada kita.”
Aku mengangguk kemudian memeluknya dan mengecup keningnya yang lembut.

“Bi, belikan Umi playstation sekarang ya.”

Keningku berkerut, “Untuk apa, Mi? Kok minta PS.”

“Umi kan ngidam kepengen main PS, Oke Bi!” Tirtir mengerlingkan mata kanannya padaku dan aku nyengir.

Bandung, 28 Desember 2008
Catatan:
(1) Petrichor adalah bau tanah yang baru saja dibasahi oleh hujan.
(2) Puisi “Munajat Seorang Hamba; Rudi Armanda” dengan sedikit perubahan.
(3) The Silent killer atau Kanker Ovarium (Kista Ovarium) adalah kanker pada ovarium yang menyebabkan kematian terbanyak karena muncul tanpa gejala (asimtomatik) dan baru menimbulkan keluhan jika masuk pada stadium lanjut.
(4) QS. Al-Baqarah: 155
(5) Wajan bolik merupakan piranti keras yang digunakan untuk menangkap sinyal radio, biasanya digunakan untuk pengelolaan internet.

Beberapa bulan telah berlalu seperti biasa aku menjalani hari-hari dengan biasanya sebagai seorang penulis lepas, programmer lepas, dan fotografer lepas. Tidak ada pekerjaan tetap yang kumiliki melihat sulitnya mendapatkan pekerjaan di kota-kota besar seperti Bandung dan Jakarta, hanya sebuah title yang kusandang sejak lulus kuliah dulu sebagai sarjana teknik. Lain halnya dengan istriku, lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dengan predikat cumlaude dan kini bekerja sebagai dokter di beberapa rumah sakit di daerah Jakarta dan sekitarnya.

Aku pernah merasa minder dengan istriku. Parasnya yang cantik, putih dan bersih sangat berbeda jauh dengan diriku. Aku yang memiliki paras pas-pasan dengan warna kulit kecoklatan ditambah lagi beberapa bekas luka di lengan, dagu serta keningku. Luka karena kecelakaan yang lama kudapati semenjak sekolah dasar. Namun, aku sangat bangga terhadapnya walau kadang dia sangat manja kepadaku, sebagai suami aku merasa sangat beruntung mendapatkannya. Perempuan shalihah yang bertakwa, mencintai kebaikan dan tak pernah lupa berdzikir kepada Allah. Mendengar kata-kata yang menyakitkan keluar dari mulutnya pun aku tak pernah.

Beberapa hari terakhir kondisi kesehatan istriku mulai tidak stabil, nafsu makannya berkurang, dan tubuhnya semakin kurus. Aku pikir ini hanya karena aktifitasnya yang melelahkan dan butuh cukup istirahat saja. Namun, perkiraanku meleset. Istriku mengidap penyakit ganas yang memaksanya untuk mengehentikan aktifitas kedokteran dan mengharuskannya opname sebagai pasien di Rumah Sakit Dharmais, Jakarta Barat.

“Abi, Sudah jam berapa ini?” Tanya Tirtir yang terbangun dari tidurnya dengan suara cukup berat.

“Jam setengah dua pagi, sayang. Kenapa?” aku berbisik di telinganya.
Tirtir terdiam sejenak. Matanya menerawang ke langit-langit, aku hanya diam dan menahan air mata yang siap tumpah.

“Umi haus…” Nada suaranya semakin lirih dan hampir tak terdengar.

Langsung saja aku mengambil segelas air putih dari meja dekat tempat Tirtir terbaring lemas. Sebelum kusematkan sebuah sedotan ke bibir Tirtir, kutangkap sebuah nada datar keluar dari bibirnya, sebuah doa yang terlantun berulang kali dan terus dilantunkannya. Aku bergetar menyaksikan istriku begitu lemah.

“Umi, minum dulu ya.” Tukasku, sembari membantunya bangkit dari pembaringan.

Usai Tirtir minum, aku meminta diri untuk pamit sejenak menunaikan shalat tahajud dan meminta Mas Adi untuk menjaga Tirtir selama aku pergi ke masjid.

Malam semakin hening dan sunyi. Hanya nyanyian gerimis dengan wangi petrichor(1) yang menyeruak dan detak jarum jam yang begitu kuat terdengar di telingaku. kutunaikan tahajudku lalu sesenggukan begitu saja dalam setiap doa yang kupanjatkan untuk istriku.

dalam dekapan tangan cinta
aku pasrahkan pada Sang Maha Pencipta
karena hanya di dalamNya
kesejatian cinta menjadi nyata

aku tak pernah menyangka
dan tak pernah merencanakan
bahwa aku menyayanginya

apakah ia memiliki cinta sekadar dengan cintaku padaMu?
cinta itu muncul dengan ketakberdayaannya
menyergapku
memelukku

aku pasrah
tapi bukan tidak berdaya
aku menerima
tapi bukan tanpa senang dan bahagia

jiwa yang telah Engkau pilih
oleh cintaMu yang tulus
tidak akan gamang dengan kedudukan
apalagi oleh rupa dan penampilan

ia hadir begitu anggun
yang akan menghibur saat sedih
saat aku terpuruk
membimbing hati
dan menjadi pelita dalam gelap

saat kerinduan padaMu telah memuncak
aku berdoa untuknya
dan karena rindu yang sudah tak tertanggungkan(2)
***

Aku berlari dari area parkir menuju pintu Rumah Sakit Dharmais. Sempat kulirik beberapa orang yang duduk di ruang tunggu dekat pintu masuk memandangiku heran. Tanpa menghentikan lariku, langsung saja aku menuju ruangan Dokter Anies, teman semasa sekolah menengahku dulu dan juga yang manangani kesehatan istriku saat ini.

Sampai di depan pintu masuk ruang dokter, aku menyapa Mas Adi dan langsung saja menanyakan apa yang terjadi. Mas Adi hanya menjelaskan kesehatan Tirtir yang mulai memburuk.

“Kata Dokter Anies, Tirtir harus segera dioperasi.” Ujar Mas Adi.

Mendengar hal itu membuatku syok tak karuan. Aku rebahkan tubuhku keras ke dinding kamudian menangis sesenggukan. Aku khawatir kehilangan Tirtir dalam operasi ini walau aku akan kehilangan kesempatan memiliki seorang anak dari rahimnya. Tangisku sungguh tak tertahankan.

“Tenanglah, Angga. Serahkan kepada Allah. Dia yang memiliki segalanya.” Mas Adi menenangkanku walau aku menangkap matanya pun mulai tergenang air mata.

“Baiklah, Mas. Saya paham. Hanya ini satu-satunya jalan terbaik untuk menyelamatkan Tirtir.” Aku berusaha sekuat tanaga menahan air mataku dan kembali mengatur nafasku agar emosiku dapat terkandali.

“Saya masuk dulu untuk bertemu Dokter Anies.” Lanjutku.

Mas Adi menganggukan kepalanya dan mencengkram bahuku kuat seakan-akan dia berusaha untuk membuatku tegar dan ikhlas.

Setelah dokter mempersilakan aku duduk dan kami bertegur sapa sejenak, aku langsung saja menyetujui apa yang disampaikan dokter Anies kepada Mas Adi.

“Angga, tunggu dulu. Kamu tahu kalau operasi ini kamu setujui maka istrimu tidak akan bisa memberikan keturunan?” Anies mengingatkanku sebelum aku menandatanagani surat keputusan tersebut

“Saya tahu Nies dan saya tidak ingin istri saya menderita dengan penyakit ini.”

“Hm… baiklah, silakan tanda tangan dan doakan saya agar operasi berjalan dengan lancar.”

“Amin” ujarku singkat dan segera menandatangani surat keputusan itu.

“Operasi akan dimulai jam empat sore ini. Temuilah istrimu. Saya yakin dengan ketegaran dan ketabahan istrimu. Dia adalah dokter yang sangat hebat.” Anies tersenyum padaku.

Di kamar sebuah rumah sakit, aku duduk di samping istriku yang masih terlelap dalam tidurnya. Kuperhatikan tubuhnya yang semakin kurus, wajahnya cekung tak seperti dulu, selalu ceria dengan lesung pipinya yang manis. Kini ia tergeletak lemah.

Jarinya bergerak perlahan, terang saja kugenggam telapak tangannya untuk memberikan kekuatan dan isyarat bahwa aku ada di sampingnya. Sesaat itu pula ia membuka matanya lalu melirik kepadaku. Ia berusaha menyunggingkan senyuman dan mengerlingkang mata kanannya kepadaku. Aku tersenyum dalam balutan air mata.

“Abi, Umi kangen…” Tirtir mulai berbicara

“Kangen Abi, ya?” Aku menggodanya. Dia hanya tersenyum kecil sambil menahan sakit yang kulihat dari air mukanya.

“Sayang istirahat saja, ya.”

“Umi capek tiduran terus!”

“Abi ganggu Umi tidur, ya?”

“Gimana bisa tidur? Umi dari tadi merem-melek aja nggak bisa tidur.” Sempat saja Tirtir mengajakku bercanda padahal tubuhnya sangat lemah.

“Bi, Umi sakit apa sih?” Pertanyaan Tirtir membuatku bingung. Aku tidak ingin dia kaget dengan penyakit yang diidapnya. Aku tidak ingin menambah kepedihan dalam hatinya.

Say it, Bi. Umi juga dokter dan Abi jangan terlalu khawatir dengan kondisi psikis Umi.” Tirtir meyakinkanku.

Aku menghela nafas panjang, “Oke! Umi mengidap the silent killer(3)”

“Masya Allah…” Ujarnya terkejut.

Aku tahu hal ini pasti menyakitkan hatinya, membuatnya drop, bahkan aku siap mendengarkan tangisannya yang menjadi-jadi. Namun, suasana hening. Tirtir diam, menutup matanya. Aku melihat bibirnya bergetar dan melantunkan sebuah doa itu lagi, doa yang membuatku selalu terhenyak dan bergetar. Sekuat inikah istriku menerima cobaan-Mu ya, Allah.

“Abi, maafkan Umi yang selalu merepotkan Abi.” Lanjut Tirtir dengan nada bergetar. Perlahan air mata membasahi pipinya.

“Sayang, jangan berbicara begitu. Abi sangat tulus dan ikhlas mencintai Umi. Dan sesungguhnya akan Kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar?(4)” Aku meyakinkan Tirtir dengan petikan baitNya.

Tirtir mulai sesenggukan, tangannya menggenggamku tanganku erat. Tubuhnya bergetar dan kudapati sebuah senyum yang ia ulaskan tulus ke wajahku.

“Abi, Umi sangat beruntung memiliki suami seperti Abi. Andaikan Allah memang harus mengambil Umi kembali kepada-Nya, Umi hanya ingin Abi yang menjadi pendamping Umi di akhirat nanti.”

Aku hanya tersenyum, tak tahu lagi apa yang harus kukatakan padanya. Aku hanya ingin ia kembali sembuh dan sehat seperti semula. Aku sangat merindukan sosoknya yang penuh semangat dan ceria.

“Jam berapa operasinya, Bi?” Tanya Tirtir.

“Jam empat, sore ini. Masih empat setengah jam lagi. Umi istirahat, ya. Anies berpesan agar Umi cukup istirahat sebelum operasi nanti. ” Jawabku dan Tirtir mengiyakan.

Matahari telah dewasa. Lamat-lamat kudengar adzan Zuhur bersahutan dari beberapa masjid di luar Rumah Sakit. Ya Allah, kepada-Mu kami berserah diri.

“Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menyia-nyiakan amalan mereka. Ia menguatkan hati mereka dengan kekuatan-Nya, membantu mereka dengan kekuasaan-Nya, menjaga mereka dengan keperkasaan-Nya. Setelah itu Dia menganugerahkan keridhan-Nya pada mereka dan memasukkan mereka ke dalam surga-Nya.” (Muntadiyah Al-Musafir)
***
Syng, Umi tnggu di gdg teratai lantai dua ya. Luv u much, emuach;-)

Aku nyengir membaca SMS-nya. Setelah menerima SMS dari istriku, aku langsung beranjak ke lantai dua Gedung Teratai. Gedung itu terletak di selatan Rumah Sakit Cibinong. Sedikit berlari kecil, menaiki tangga, dan hup… aku sampai di depan meja informasi lantai dua. Kulihat ada tiga perempuan berkerudung putih sibuk dengan pekerjannya masing-masing.

“Assalamu’alaikum, Mbak” Sapaku pada salah seorang perawat berkerudung tadi.

“Wa’alaikumsalam. Bisa saya bantu, Pak?” Tanyanya lansung dengan ramah tersenyum.

“Saya Angga. Maaf, saya bisa bertemu dengan Dokter Tiara.”

“Suami Ibu Tiara, ya?”

“He… iya.” Aku kaget dengan pertanyaannya.

“Tadi, Ibu berpesan agar bapak menunggu beliau di sini. Insya Allah beliau tidak akan lama karena beliau sedang mengontrol pasien-pasien di kamar terakhir, 206.”
Aku mengangguk paham.

Menunggu istriku membuat suasana di sekitar meja informasi hening. Perawat-perawat yang berada di hadapanku sibuk dengan pekerjaan mereka.

“Bapak bekerja sebagai penulis, ya?” Salah seorang perawat dengan tanda nama Mela tiba-tiba bertanya padaku, Memecah keheningan, “saya dengar dari Ibu Tiara yang senang sekali berbicara tentang Bapak” Lanjut perawat tersebut.

“Beberapa karya yang Bapak tulis pun pernah saya dan perawat lain baca, tentunya dengan izin Ibu Tiara” Sambung perawat satunya lagi. Sepintas kulirik tanda namanya bertuliskan Rina. Ia memberikan sebuah senyuman yang cukup menenangkan.

Aku grogi dengan sebutan yang digunakan oleh perempuan itu untuk memanggilku, karena umurku masih terlalu muda untuk dipanggil bapak.

“Duh, sepertinya Dokter Tiara berhasil membuat saya semakin malu nih Mbak?” Kami berempat tertawa kecil.

Suasana tidak sehening sebelumnya. Aku dan ketiga perawat itu berbincang akan kesibukan rumah sakit setiap harinya, hingga akhirnya aku menangkap sebuah salam yang begitu kental, suara yang begitu hangat merasuk ke palung hatiku,

“Assalamu’alaikum, Abi.” Seorang perempuan berkerudung hitam polos dengan jas putih khas dokter.

“Alaikumsalam ya Umi” aku menjawab salamnya dengan penuh senyum keikhlasan seraya memeluk istriku erat. Tanpa sengaja kulirik beberapa perawat tadi sedang senyum-senyum melihat kami.

“Maaf menunggu lama ya, Bi. Umi baru aja selesai kontrol pasien nih. Kita ngobrol di ruangan Umi aja ya!” Pintanya padaku.
Aku manggut meniyakan ajakannya.

Aku berada di sebuah ruangan berukuran tiga kali empat meter bercat putih ditambah beberapa poster kesehatan yang ikut menghiasi. Di dinding bagian kiri ruangan terpasang sebuah jendela berukuran sedang dengan tirai berwarna putih bersih berenda. Kemudian, dua buah rak berwarna kehijauan terbuat dari besi tipis bertengger di sisi kanan ruangan, mungkin tempat berkas-berkas pasien. Lalu, di tengah ruangan terdapat sebuah meja kerja beserta berkas-berkas yang tertata rapi di atasnya. Aku menyungnggingkan senyum ketika melihat sebuah papan nama di atas meja tersebut bertuliskan sebuah nama yang membuatku begitu bangga, dr. Tiara Ramadhani Syammarhan, Sp.PD

“Abi, Maafkan Umi…” Ujar Tirtir --nama kesayangan istriku-- lirih, kualihkan wajahku ke arah istriku, mata kami beradu pandang.
Aku tersenyum menangkap binar matanya dengan raut wajah yang menandakan keresahan

“Kenapa meminta maaf, sayang? Tadi Abi tidak menunggu lama, kok.”

“Bukan itu.” jawab Tirtir

“Lalu?”

“Maafkan Umi, yang hingga kini belum bisa memberikan Abi keturunan.” Suaranya bergetar, wajahanya menunduk namun aku sempat melihat sebuah air mata menggenang di pelupuk matanya. Aku mendekat lalu memeluknya erat.

“Kita pernah membicarakan ini sebelumnya. Tak perlu bersedih, sayang.” Sebuah kecupan hangat kudaratkan di keningnya, tangannya semakin erat memlukku, dan aku merasakan butiran air matanya yang hangat meretas di dadaku.

Kembali aku teringat pada setahun yang lalu. Kami pergi untuk check up karena tak ada tanda-tanda kehamilan dari istriku. Saat itu aku berpikir, kesibukanlah yang membuat tanda-tanda itu tak terlihat. Namun, setelah kami memeriksa kesehatan kami masing-masing, tanpa kuduga bahwa istriku divonis mandul.

Aku terperangah dengan apa yang diucapkan dokter saat itu, mungkin dia salah. Tapi setelah kami cek kembali hasilnya tetap sama. Masih belum puas dengan hasil pemeriksaan itu, kami kembali melakukan check up di rumah sakit yang berbeda. Namun, hasilnya masih saja sama.

Mulailah terlihat pandangan sinis dari keluargaku terhadap perempuan yang sangat kucintai ini. Celaan dan hinaan makin hari makin jelas nampak. Hingga suatu hari ibuku berkata terus terang meminta agar aku menceraikan istriku dan menikah lagi atau bila tidak dengan jalan cerai asal istriku mau di poligami dengan tujuan bisa mendapatkan anak dari istri kedua nanti.
Aku tidak menerima usulan keluargaku saat itu. Aku berkata tegas pada seluruh keluarga bahwa aku tidak akan menceraikan istriku apalagi meninggalkannya dengan perempuan lain bahkan menduakannya. Aku mencintai istriku dengan tulus. Aku rela dengan keadaannya dan ia pun rela dengan keadaanku.

Masa-masa itu cukuplah berat bagiku sampai-sampai keluargaku mengucilkanku. Hal tersebut yang membuat istriku tahu bahwa aku telah merelakan keluargaku untuknya saat itu.

“Abi, Umi rela di poligami…” Suara Tirtir yang masih bergetar memecahkan kenanganku akan masa lalu.

“Sstt… Umi jangan berbicara seperti itu. Bukankah saat di awal menikah dulu Umi tidak ingin di poligami dengan alasan apapun? Abi sangat mencintaimu, sayang.” Aku meletakan telunjuk dibibirnya, berusaha menenangkannya walau sebenarnya hatikupun terserang kegelisahan.

“Tapi itu kan dulu, sekarang…”

“Sudahlah, sayang. Kita sama-sama ikhtiar dan tawakal, Allah punya skenario atas jalan hidup hamba-Nya.” Setenang mungkin aku memotong ucapannya agar dia tidak semakin larut dalam kesedihannya walau hatiku perih. Ya Allah kuatkan keimanan kami.

“Sayang kita pulang yuk. Sudah jam sembilan malam.” Usulku

Tirtir menganggukkan kepala masih dengan sesisa air matanya.
***

- Tulisan Berita
Berita adalah rekaman kejadian atau peristiwa yang sungguh-sungguh faktual atau terjadi di sekitar kita. Karena itu setiap berita memiliki tempo terbatas.

Ada beragam pengertian dan definisi mengenai apa yang disebut berita. Maka, pertanyaan paling awal mengenai proses penulisan berita adalah bagaimana wartawan bisa menilai sebuah fakta dan peristiwa layak diankat sebagai berita atau tidak. Dalam teori jurnalistik, tidak semua fakta dan peristiwa layak ditulis menjadi berita. Kita bisa memilih antara peristiwa dan fakta yang layak ditulis sebagai berita dan tidak karena memiliki 'alat ukur' yang disebut nilai berita (news value). Semakin tinggi news value yang terkandung dalam sebuah fakta, maka akan semakin kuat pula untuk diangkat sebagai berita.

News value tentunya memiliki indikator-indikator sebagai pengukuran, antara lain:
Lokalitas: Besar kecilnya dampak peristiwa itu bagi masyarakat (consequences).
Human interest: Menarik tidaknya dari segi ragam cara hidup manusia.
Prominence: Besar kecilnya orang yang terlibat dalam peristiwa.
Proximity: Jauh dekatnya lokasi.
Timelines: Baru atau tidaknya peristiwa.
Masing-masing ahli jurnalistik memiliki ragam indikator yang berbeda. Namun, dari banyaknya ragam indikator tersebut dua hal paling utama sebenarnya adalah indikator penting dan menarik.

Mengeksplorasi data. Setelah menemukan fakta peristiwa yang mengandung nilai berita cukup tinggi, maka langkah wartawan selanjutnya adalah menghimpun data-data yang menjadi bahan berita. Setidaknya seorang wartawan bisa menghimpun data dengan tiga cara, yaitu:

Pengamatan langsung, dilakukan dengan menggunakan seluruh panca indera untuk mendapatkan data sedetail-detailnya.
Wawancara dengan sumber berita, dengan bertemu secara langsung sumber berita.
Data-data tertulis (data sekunder).
Untuk menuliskan informasi secara utuh, eksplorasi data juga harus dilakukan dengan menggunakan dokumen, misalnya laporan keuangan, akte notaris, bahkan kliping pemberitaan.

Jenis-jenis berita. Selain hard news (berita keras), masih ada dua jenis penulisan berita yang umum hadir di media maasa, yakni features (berita kisah) dan laporan.
Features
adalah berita yang dikemas ringan dan rekreatif bersifat human interest, menghibur, santai dan mengupas satu isu atau permasalahan tertentu yang diangkat. Features dibuat agar pembaca tidak jenuh ketika membaca media yang dipenuhi straight news atau peristiwa dan fakta yang belum ter-cover melalui straight news.
Laporan adalah tulisan bersifat investigasi reporting, tulisan panjang dengan data lengkap untuk mengungkap kasus-kasus tertentu. Laporan dibuat untuk meng-cover tema-tema aktual yang tidak ditampilkan melalui straight news dan features. Keunggulan tulisan ini ada pada utuhnya persoalan yang ditampilkan, detail data yang disajikan, sudut pandang yang dikhawatirkan dan bahkan sisi-sisi sensitif yang sebelumnya belum atau tidak bisa diungkap.

- Tulisan Wawancara
Adalah tulisan dari hasil proses reportase atau wawancara. Tulisan ini biasa dibuat dari hasil wawancara dengan seorang tokoh yang dipandang berpengaruh, atau pakar dalam bidangnya. Bentuk tulisan ini bisanya bersifat tanya jawab. Selebihnya tidak aturan baku di dalam menulis wawancara, kecuali membuat tulisan tersebut enak dibaca. Oleh karena itu, tulisan wawancara selain judul juga memerlukan lead atau kalimat pembuka yang menarik, agar pembaca tertarik untuk membacanya.

- Tulisan Biografi
Adalah tulisan true story atau kisah nyata tentang kehidupan seseorang. Karena itu tulisan biografi berisi tentang seluk-beluk kehidupan seseorang dari lahir sampai meninggal. Memuat, asal kelahiran, latar belakang keluarga, jumlah saudara, pendidikan, kehidupan masa remaja hingga menginjak dewasa, fase membangun keluarga, hobi, pekerjaan hingga pandangan atau prinsip-prinsip hidupnya. Gaya penulisan tulisan biografi sangatlah bebas. Artinya memang tidak ada batasan baku tentang apa dan bagaimana tulisan biografi harus ditulis.

- Tulisan Feature
Sesungguhnya termasuk dalam jenis berita. Hanya saja pemberitaan dalam feature tidak ebrsifat langsung melainkan selalu bersifat tidak langsung. Tema-tema yang diangkat dalam tulisan feature tidak selalu harus terkini. Karena yang terpenting adalah sisi kemenarikan dari tema yang diangkat. Ditulis dengan gaya rileks. Bahkan terdapat feature yang lebih menggunakan gaya penulisan fiksi. Terlebih belakangan dengan adabnya jurnalisme sastra, maka batas fiksi dan non fiksi kerap sulit dibedakan.

- Tulisan Ringkasan
Tulisan yang berisi tentang intisari gagasan atau pemikiran sebuah buku atau lebih, yang disusun sependek mungkin. Karena itu ringkasan pula disebut sebagai tulisan padat atau pendek. Meringkas adalah mengambil pokok pikiran atau gagasan utama buku dan menyusun kembali ke dalam susunan yang sependek mungkin.

- Tulisan Renungan
Tulisan yang mengajak pembaca melakukan perenungan tentang sesuatu hal. Namun demikian umumnya tulisan renungan berisi tentang tema-tema keagamaan, moralitas dan kesadaran. karena itu ciri khas tulisan renungan adalah himbauan pada pembaca agar mereka menginsyafi sesuatu hal.

- Tulisan Editorial
Adalah opini atau sikap terhadap sesuatu persoalan yang dianggap penting oleh sebuah media. baik itu persoalan sosial, politik atau persoalan moralitas. Dalam tulisan editorial dimasukkan juga bagaimana solusi-solusi serta pandangan yang ditawarkan, berikut argumentasi-argumentasinya. Ada pun bentuk tulisan editorial sama seperti halnya dengan tulisan opini atau artikel.

(Disadur dari Agunk Irawan MN: Arti, "Cara Asyik menjadi Penulis Beken")

Merupakan tulisan yang menggambarkan kejadian sebenarnya. Fokus menceritakan kisah suatu peristiwa yang ada atau hal-hal lain, seperti sebuah gagasan pemikiran tentang suatu hal atau sebuah batasan problematika berikut solusinya. Tulisan Non Fiksi melibatkan kerja-kerja pikiran secara logis. Karangan ilmiah merupakan kategori tulisan non fiksi.

- Tulisan Esai
Berbeda dengan tulisan bentuk opini (artikel), ataupun berita. Walau esai terkadang melibatkan fakta-fakta untuk mengukuhkan gagasan yang dibangun, namun tuntutan fakta dalam esai, memiliki pemerian berbeda dengan berita yang cenderung terikat dengan aktualitas sistem penulisan 5 W + 1 H.

Karena itu tidak ada berita yang menulis kejadian masa lalu. Terkecuali masa lampau tersebut kembali hadir di masa kekinian. Sebaliknya esai cenderung mengambil tema-tema yang justru bersifat lampau. Sehingga membuat esai bersifat reflektif atau sekadar memahami sesuatu dengan cara pandang tertentu ketimbang menyodorkan sebuah gagasan, atau menginformasikan sebuah kejadian yang baru. Misal, esai-esai Gunawan Muhammad dalam rubrik Catatan Pinggir.

Sebuah esai dasar bisa dibagi menjadi tiga bagian yaitu:
* Pertama
Pendahuluan yang berisi latar belakang informasi yang mengidentifikasi subyek bahasan dan pengantar tentang subyek yang akan dinilai oleh si penulis tersebut.
* Kedua
Tubuh esai yang menyajikan seluruh informasi tentang subyek.
* Ketiga
Adalah bagian akhir yang memberikan kesimpulan dengan menyebutkan kembali ide pokok, ringkasan dari tubuh esai, atau menambahkan beberapa observasi tentang subyek yang dinilai oleh si penulis.

Jika dipetakan mengenai langkah-langkah membuat esai, bisa dirunut sebagai berikut:
1. Menentukan tema atau topik
2. Membuat outline atau garis besar ide-ide yang akan kita bahas
3. Menuliskan pendapat kita sebagai penulisnya dengan kalimat yang singkat dan jelas
4. Menulis tubuh esai; memulai dengan memilah poin-poin penting yang akan dibahas, kemudian buatlah beberapa subtema pembahasan agar lebih memudahkan pembaca untuk memahami maksud dari gagasan kita sebagai penulisnya, selanjutnya kita harus mengembangkan subtema yang telah kita buat sebelumnya.
5. Membuat paragraf pertama yang sifatnya sebagai pendahuluan. Itu sebabnya, yang akan kita tulis itu harus merupakan alasan atau latar belakang alasan kita menulis esai tersebut.
6. Menuliskan kesimpulan. Ini penting karena untuk membentuk opini pembaca kita harus memberikan kesimpulan pendapat dari gagasan kita sebagai penulisnya. Karena memang tugas penulis esai adalah seperti itu. Berbeda dengan penulis berita di media massa yang seharusnya (memang) bersikap netral.
7. Jangan lupa untuk memberikan sentuhan akhir pada tulisan kita agar pembaca merasa bisa mengambil manfaat dari apa yang kita tulis tersebut dengan mudah dan sistematis sehingga membentuk kerangka berpikir mereka secara utuh.


- Tulisan Kolom
Bersifat begitu bebas, terkait dengan bahasa ungkapannya yang memang sangat bebas. Kolom pada umumnya adalah berisi tentang analisis dari berbagai macam tema yang dilakukan seorang pakar. Beberapa penulis menyamakan tulisan kolom dengan esai. Farid Gaban misalnya berpandangan tulisan kolom adalah tulisan esai itu sendiri.

Hanya saja bentuk tulisn kolomcenderung memiliki gaya penulisan yang jauh lebih kaya ketimbang esai itu sendiri. Karena dalam tulisan kolom tidak dibatasi oleh hal-hal semata bersifat non fiksi. Sisi yang paling khas dari tulisan kolom adalah bahwa tulisan kolom begitu diliputi style personalitas penulisnya.

Pada dasawarsa 1980-an dan awal 1990-an kita memiliki banyak penulis kolom yang handal. Hal itu disebabkan mereka memiliki sudut pandang orisinal dan ditulis secara kreatif, populer serta "stylist". Mereka adalah, Mahbub Junaedi, Goenawan Mohamad, Umar Kayam, MAW Brower, Emha Ainin Nadjib, Faisal Baraas (kedokteran-psikologi), Bondan Winarno (manajmene-bisnis), Sanento Juliman (seni-budaya), Ahmad Tohari (agama), serta Jalaludin Rakhmat (media dan agama).

Namun, tidak semua yang mereka tulis adalah tulisan kolom yang terus-menerus serius hingga ke titik kejenuhan. Kadang mereka pun menulis beberapa cerpen dan novel dengan ide-ide dan kreativitas yang brilian.

- Tulisan Artikel
Ada banyak ragam pengertian artikel. Menurut Sharon Scull (1987) mendefinisikan artikel sebagai bentuk karangan yang berisi analisis suatu fenomena alam atau sosial dengan maksud untuk menjelaskan siapa, apa, kapan, dimana, bagaimana dan mengapa fenomena alam atau sosial itu terjadi dan kadang menawarkan suatu alternatif bagi pemecahan suatu masalah.

Bentuk tulisan artikel adalah sebagai berikut:
Pengatar,
Tubuh, dan
Kesimpulan.

Pengatarnya bisa berbentuk ringkasan dari tubuh artikel, kalimat tesis, atau apa saja, termasuk kutipan yang mewakili isi dari tubuh artikel. Tubuh artikel pun bisa berbentuk cerobrog, piramida terbalik dan lainnya.

- Tulisan Resensi
Resensi adalah tulisan yang membahas tentang buku, mulai dari kelebihannya, kekurangannya, isi serta kritikan terhadap buku tersebut. Tulisan ini juga disebut sebagai tulisan bedah buku, karena membedah isi dari buku yang diresensi. Dari tulisan resensi ini pembaca akan tahu tentang bagaimana isi buku tersebut. Adapun bentuk resensi tak berbeda dengan tulisan artikel atau opini, mulai dari pendahuluan, batang tubuh dan penutup.

- Tulisan Opini
Bentuk opini termasuk dalam jenis tulisan ilmiah populer. Tulisan ini berisi pandangan atau pendapat seseorang tentang sesuatu permasalahan dan sebab akibatnya serta solusi-solusi yang ditawarkannya. Opini terkadang disamakan dengan artikel. Akan tetapi sesungguhnya terdapat perbedaan mendasar antara opini dengan artikel. Dalam artikel sisi interest personal penulis seakan-akan mati.

Karena itu dalam artikel berbicara sepenuhnya adalah bagaimana gagasan yang dibawa dan problem yang hendak diselesaikan. Sedang dalam opini, meski gagasan dan unsur-unsur pemikiran tetap ditekankan, tetapi unsur personal penulis tidak dibatasi. Karena itu semakin subyektif sebuah opini, maka menjadi semakin menariklah tulisan tersebut.

(Disadur dari Agunk Irawan MN: Arti, "Cara Asyik menjadi Penulis Beken")

Fragmen Untuk Perempuan: duka, luka, airmata, dan cinta


Duka,
Kepulan aroma cemburu
Membeku limbung di lumbung nirwana
Menohok rasa asmara
Dalam semburat asa membara
Terdendang dalam pijar jingga hatiku
Membuatku terjaga dalam alunan mimpi
Tentangmu…

Luka,
Entah dirinya yang maha
Atau aku yang bernadirkan hampa
Tapi kata bertinta eja telah menyisi
Walau alunnya hanya mampu berbisik
Dan kilaunya tak seindah mawarnya

Airmata,
Harum semerbakmu, wangi lusuhmu, kenanganmu yang berziarah syair-syair luka
Engkau berkisah senja
Bukankah sekarang ada resah
Dan cinta menawarkan tangis
Dan cinta menitiskan sejarah
Dan cinta membasuh noktah

Cinta,
Matamu surge
Merona dalam sebuah sajak
Di sudut hatimu yang melagut
Tentang langit rindu
Tentang laut biru
Aku tersesat
Lalu bertaut
Dalam kemarau yang kau renggut.

Bandung – Serang Banten, 01 Juni 2008
*Jika Aku Dia adalah salah satu judul lagu yang diciptakan dan dibawakan oleh band Indie asal Serang, Banten. EIFEL.
Cat: Sebuah Kolaborasi Takiyo, Mbak Cibhi, Danu, Yugi_Yakuza, dan Rangga Mahesa

Jiwaku tersungkur
Menyemai kerapuhan di kegelapan malam
Masih, di sepertiga malam yang tak henti
Menjejakkan langkah seorang hamba
Yang tak pernah lekang merindu mati

Bentangan sajadah membasah
Membanjiri relung-relung nista
Semakin renta berpeluh air mata

Kepasrahan menengadah dalam lafadz cinta
Bersemayam dalam melodi-melodi alufiru
Tanpa henti menghempas raga
Pada daun-daun kering yang membatu
Ya, membatu dalam hatiku
Lalu membeku pada alum-alum saga

Izinkan waktu ini memalu rindu pada-Mu
Walau kelemahan dan kehinaan meraja
Begitu mesra dalam getir kelu
Izinkan waktu ini menitis dalam sukma
Dengan bait-bait keagungan-Mu
Mereguk segenap cinta-Mu yang tak pernah tandas
Hingga datang ajalku
Hingga aku menapaki jalan-Mu
Dalam kalbu yang abadi

Bandung – Jakarta, 31 Mei 2008
Cat: Sebuah Kolaborasi Takiyo dan MicHi_MoeT

Haruskah aku meminta rembulan?
untuk membuatmu tengadah
dan meninggalkan pias yang terpatri
(Takiyo)

Mengapa?
Apakah aku hanya seberkas sinaran rembulan?
Maka, dekatkan aku dengan mentari,
agar aku bersinar lebih terang.
Atau campakkan semua rembulanmu yang lain.
Yang lebih terang dariku
(Pikanisa)

Tak perlu kau memintaku
Karena hanya ada satu
Ya, rembulan yang ada di hadapanku
Begitu bersih, lembut dan sayu.
(Takiyo)

Sayangnya bulanmu belum utuh
Bulanmu masih separuh
(Pikanisa)

Rembulan tak purnama
Izinkanlah aku merindu akan dirimu
Walau hanya separuh
Yang tak lekang dalam pikiranku
(Takiyo)

Namun, rembulan yang lain
Tampaknya cukup lebih menggodamu
Berbisik akan kenangan purnama yang lalu
(Pikansia)

Mengapa?
Apakah Elegi yang pernah kita lukiskan
Pada sebuah kehidupan tidakalah cukup?
Atau mungkn kau tidak pernah memintaku
untuk mlukiskannya bersamamu?
(Takiyo)

Elegi,
Tidak lagi,
Karena bagian sinaran yang hilang
Telah kularungkan
Dan terbawa oleh deburan ombak di hembusan yang pasang
terapung di palung samudera
Kemudian menepi di pulau terasing
Ah… Terlalu memuakkan untuk kuarungi
(Piknisa)

Lalu mengapa kita diam?
Padahal kita sedang melukiskan sebuah kisah yang baru
Apakah kita harus berhenti?
Menidurkan emosi yang berjelaga dalam gemuruh nadi
Lalu berlari dari samudera yang menerali
Ya… Elegi yang datang tanpa pernah tumbang
(Takiyo)

Sudah,
Sudah penat untuk sekedar menjejakkan kaki ke dunia nyata,
Apakah sanggup untuk berlari?
Kalau aku tertidur,
Malam telah berganti pagi
(Pikanisa)

Apa yang engkau takutkan
pada pagi yang akan engkau hadapi?
Ada diriku di sampingmu
Tidak hanya untuk menemanimu,
Tidak hanya Elegi
Namun menjadi sebuah keikhlasan untuk dirimu
(Takiyo)

Mungkin,
Sekali lagi akan kubangun sebuah rakit Elegi
Dari sisa-sisa pelepah terdahulu
Dan tidak usah ada pilu,
Akan selalu ada malam-malamu yang menemaniku
(Pikanisa)

Bandung-Surabaya, 19 Mei 2008.
Cat: Puisi kolaboriasi Takiyo dan Pikanisa -- Takiyo (Malam) – Pikanisa (Rembulan)

"Mengarag atau menulis fiksi apapun adalah pekerjaan yang mudah". Begitu kata Arswendo Atmowiloto, penulis skenario Sinetron Keluarga Cemara, dalam bukunya yang berjudul "Mengarang Itu Gampang", yang diterbitkan sekitar tahun 80-an. Mudahnya mengarang, terkait karena dalam mengarang yang dibutuhkan adalah imajinasi.

Dalam dunia fiksi kepekaan diasah habis-habisan, mulai dari kemampuan dalam memilih suatu kata (diksi), menyusun kalimat serta menyusun alur. Karena itu menulis fiksi kerap diungkap sebagai menulis sastra. Pandangan itu wajar karena dalam fiksi, penulis dihadapkan dengan persoalan tentang bagaimana menyusun kalimat seindah dan seapik mungkin. Dalam ilmu kejiwaan, menulis fiksi diungkap positif bagi kepribadian penulis. Karena dengan itu emosi-emosi yang tersimpan dalam diri penulis akan mendapat penyaluran secara positif. Tidak salah bila sorang bijak menasihati muridnya, "kenalilah dirimu dengan mengarang".

- Tulisan Puisi
Puisi, adalah karya fiksi yang usianya paling tua. Sebelum cerpen dan novel ditemukan, karangan fiksi yang pertama kali ditulis manusia adalah puisi. Para sarjana modern mengungkapkan hal itu karena sifat puisi sebagai karangan yang dekat dengan diri manusia. Kedekatan itu berkait dengan kesamaan sifat-sifat puisi dengan kecenderungan manusia di periode awal, yang cenderung bersifat ekspresif dan emotif.

Sebuah puisi dibuat biasanya untuk menyampaikan perasaan, atau imajinasi tentang sesuatu hal, kondisi emosi, atau kesadaran-kesadaran yang sifanya abstraks. Puisi adalah karangan yang menggunakan sedikit kata. Dan setiap kata dipilih didasarkan pertimbangan makna, bunyi dan pengucapannya. Karena itu puisi cenderung mengedepankan keserasian antara ketiga hal tersebut. Bagaimana makna, irama kata, dan bunyi pengucapan mampu tersusun secara harmoni dan serasi. Dari situlah puisi enak dibaca keras-keras di depan khalayak.
Sebagai contoh puisi Chairil Anwar:

Aku
Kalau sampai waktuku
'Ku mau tak seorang 'kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedang itu

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menambak kulitku
Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga gilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi

(Chairil Anwar: Dian Rakyat, Jakarta, 1993)


Pada puisi Chairil Anwar itu, mempunyai tiga unsur penting. Makna kata, irama kata, serta bunyi pengucapan tersusn begitu serasi dan kuat. Sangat berbeda dengan ungkapan emosi pada umumnya. Karena itu puisi kerap dinilai sebagai karya fiksi yang estetis. Karena di dalam menyimpan ketinggian nilai-nilai keindahan.

-Tulisan Cerpen
Cerpen atau cerita pendek adalah karangan yang berbeda dengan puisi. Cerpen selalu membutuhkan kata-kata jauh lebih banyak ketimbang puisi, meski jauh lebih sedikit ketimbang novel. Cerpen hampir mirip dengan novel. Tapi pengkisahan dalam cerpen berbeda dengan novel. Cerita dalam cerpen lebih banyak memusatkan pada situasi perasaan, atau kondisi-kondisi emosi yang dirasakan pembaca dan karakter tokoh, ketimbang alur cerita. Dan tulisan cerpen kerap pula memasukkan latar belakang, tema, pelukisan watak, serta dialog-dialog yang sifatnya pendek.

-Tulisan Novel
Di antara karangan fiksi yang ada, novel mungkin adalah karangan fiksi yang paling panjang halamannya. Novel biasanya punya alur cerita yang diungkapkan dengan aksi atau adegan-adegan, cara berbicara, suasana serta pikiran-pikiran para tokohnya. Selain memiliki alur cerita, novel juga memiliki tema: makna keseluruhan dari jalinan cerita yang ada, setting waktu, nada (irama cerita), karakterisasi atau pengembangan dari karakter-karakter yang ada, dan juga dialog.

Alur novel, secara umum bisa disederhanakan menjadi tiga hal: Pendahuluan Konflik, Klimaks Konflik, Ensing atau penyelesaian. Namun demikian terkadang terdapat pula novel yangtidak membuat penyelesaian apapun dari cerita yang dibuatnya.

(Disadur dari Agunk Irawan MN: Arti, "Cara Asyik menjadi Penulis Beken")

Secara keseluruhan dengn mudah dapat kita pahami bila kita sering bahkan intens dalam membaca puisi, cerpen, bahkan novel dan terus berlatih menuliskan ide liar yang ada dalam pikiran kita (baca: penulis).