skriptorium beryl

literature & spiritual combination

Di depan kamar operasi aku dan Mas Adi menunggu dengan kecemasan yang sangat. Mas Adi adalah satu-satunya keluarga yang dimiliki istriku. Ayah dan ibu istriku meninggal karena kecelakaan setahun sebelum kami menikah. Aku lebih dulu mengenal Mas Adi ketimbang istriku. Lelaki jangkung dengan tubuh proporsional, berkulit kecoklatan dan mantan pemain basket sama sepertiku. Karena Mas Adi-lah aku diperkenalkan dengan istriku, Tirtir.

Pertama kali mataku berpapasan dengan Tirtir saat aku baru saja selesai membuat jaringan internet dari wajan bolik(5) yang dipesan oleh Mas Adi. Tanpa sengaja aku menemukan sesosok perempuan berparas cantik dengan balutan kerudung berwarna jingga dan jilbab putih yang menjuntai anggun. Hatiku berdebar kencang. Sungguh, saat itu aku hanya ingin segera pulang tanpa tahu siapa dia.


Namun, Allah memiliki skenario lain. Aku dipertemukan kembali dengan perempuan itu di sebuah rumah sakit ketika aku mengantarkan ayahku berobat. Aku pikir ini hanya kebetulan saja namun dokter yang merawat dan mengontrol kesehatan ayahku adalah perempuan yang sama yang kutemui pertama kali di rumah Mas Adi.


Beberapa bulan kemudian ayahku meninggal dan menyisakan kepedihan yang begitu dalam. Mas Adi pun ikut sedih dengan apa yang kuhadapi karena ia pun pernah mengalami hal itu sebelumnya, kehilangan figur yang selalu menyayangi dan mengayomi keluarga. Masih kuingat apa yang dikatakan Mas Adi saat itu bahwa Allah akan mengambil kembali apa yang ia titipkan kepada kita dan pada saat itupula Allah telah menyediakan kado istimewa untuk kita. Sebuah kalimat yang begitu dalam dan menyentuh hatiku.


Dua bulan setelah kepergian ayahku, di situlah Allah memberikan kado istimewa kepadaku. Sebuah kado yang hingga sekarang tetap kujaga. Saat itu Mas Adi memperkenalkanku dengan adiknya, Tirtir. Sebulan kami ta’aruf, akhinya kami pun sepakat untuk memperkuat keimanan dan ibadah kami dengan menikah. Begitulah aku menimbang masa laluku akan Mas Adi dan istriku yang kini tergolek lemah di kamar operasi.


Pintu kamar operasi tiba-tiba terbuka, Dokter Anies keluar dari balik pintu itu. Aku dan Mas Adi menghampiri dia bersamaan dan mempertanyakan kondisi istruku.


“Bagaimana, Nies?” Tanyaku gusar.

Kepala dokter Anies tertunduk sembari ia melepaskan jas putihnya kemudian menggantungkann jas tersebut di lengan kirinya.

“Bagaiamna, Dok?” Mas Adi bertanya tegas.

Dokter Anies menarik nafas panjang dan menghembuskannya kuat. Kepalanya menggeleng, belum sempat ia berkata apapun mataku nanar dan tak tahu lagi harus berbuat apa. Kesedihan itu semakin memuncak, berfluktuasi, dan meledak di dadaku.

Dokter Anies tidak menjawab pertanyaanku dan Mas Adi, dia masih saja diam.

“Kita bicara di ruangan saya.” Sarannya kemudian.

Hatiku berangsur tenang dan kesedihanku yang memuncak berhasil kutahan. Aku tidak ingin membuat semuanya runyam bila aku tidak berpikir dengan jernih.


“Angga, operasinya tidak jadi dilaksanakan. Karena keanehan terjadi.” Anies menerangkan singkat.


“Maksudmu?” Aku mengejar pernyataannya.


Dokter Anies memperbaiki posisi duduknya, tubuhnya yang sebelumnya bersandar pada kursi kini duduk dengan posisi sigap dan menatap kami serius.


“Belum sempat aku dan dokter lainnya menggoreskan pisau bedah di area kanker, pisau itu patah ketika menyentuh kulit istrimu. Tiga kali kami ulangi proses pembedahan namun pisau bedah kembali patah. Kami mengambil keputusan untuk menundanya nanti malam.” Papar Anies.


Aku hanya diam, tak sedikitpun bibirku mampu mengucapkan sepatah katapun. Pikiranku sudah melayang jauh, entah kemana. Apakah ini pertanda ataukah aku yang sengaja membuat pertanda itu ada dalam pikiranku. Yang jelas, aku hanya ingin istriku kembali sembuh seperti semula.

Menjelang operasi kedua, aku tidak diijinkan untuk bertemu dengan istriku. Dokter Anies memintaku untuk tenang dan ikuti prosedur yang ada. Aku hanya bisa pasrah, dan sesenggukan. Mas Adi yang berada di sampingku membiarkanku menangis, ia hanya merangkul pundakku dengan cengkraman yang kuat. Aku tahu, ia memintaku untuk tegar.

“Mau aku ceritakan tentang kepergian almarhum mertuamu?” Tanyanya padaku.

Aku diam, tak menjawab pertanyaannya.

“Ayah dan Ibu pernah berkata kepadaku juga Tirtir, untuk percaya kepada Allah atas segala sesuatu dan mereka meminta kami agar selalu berdoa kepada-Nya dengan sebuah doa yang begitu indah.” Mas Adi diam sejenak. Perlahan aku menenangkan hati dan mencerna apa yang dikatakan oleh Mas Adi.


“Doa apa itu, Mas?” Tanyaku.

Bismillah tawwakaltu alallah. La haula wala quwata ila billah. Kamu berusaha namun menyerahkan segala usahamu pada Allah, sebab tiada daya upaya selain daya upaya dari Allah semata.”

Tiba-tiba saja hatiku bergetar, doa yang selalu terlantun dari bibir istriku. Ya, doa itu. Doa yang membuatku begitu tenang, begitu teduh dan menyejukkan layaknya hujan dalam kemarau panjang di hatiku.


Proses pengoperasian Tirtir sedang berlangsung. Aku dan Mas Adi masih menunngu di tempat yang sama. Aku tidak bisa tidur malam itu, aku meminta Mas Adi untuk istirahat dan tidur barang sejenak agar nanti bisa bergantian untuk berjaga.

Sudah empat jam menunggu, tak sedikitpun aku mengantuk. Aku masih menunggu hingga pintu ruang operasi terbuka dan aku menghampiri dokter Anies tanpa meghiraukan Mas Adi yang masih terlelap.


Belum sempat aku bertanya pada dokter Anies, dia memintaku untuk tenang. Seraut senyum tergurat diwajahnya.


“Alhamdulillah. Operasinya berhasil, Ngga. Dan Tirtir masih perlu istirahat saja untuk pemulihan.”
Mendengar hal itu membuatku begitu tenang dan lega.

“Kasus ini membuatku belajar akan pertolongan Allah.” Lanjut dokter Anies

Aku hanya mengernyitkan keningku.

“Operasi hanya dilakukan untuk mengangkat kanker itu setelah Allah mengoperasi istrimu dengan Kuasa-Nya.”

“Maksudmu?”

“Allah telah membantu kami untuk mengangkat kanker yang ada dalam kandungan tanpa harus mengangkat ovarium istrimu. Tentunya ini sangat langka terjadi dalam dunia kedokteran.” Jelas dokter Anies.

Aku merasakah getaran yang hebat dalam dadaku. Sungguh Maha Kuasa Allah yang telah memberikn kekuatan-Nya.
***

Beberapa bulan kemudian
Selama pasca penyembuhan Tirtir menunjukkan kesehatan yang sangat baik. Aku semakin yakin bahwa dia sudah mantap untuk menjalani aktifitasnya lagi sebagai dokter. Sepertinya rasa sakit yang ia alami dulu sudah benar-benar hilang dan tak sedikitpun ia mengeluhkannya padaku.

Sejalan dengan rutinitas kami yang biasanya. Aku mendapatkan tawaran bekerja di sebuah instansi telekomunikasi di Bandung. Sungguh aku merasakan kebahagiaan yang berlipat. Terang saja aku mendiskusikannya bersama Tirtir dan kami sepakat agar aku mengambil pekerjaan itu.
Bulan berganti dan kini sudah satu setengah tahun kami sibuk dengan pekerjaan. Sepulang kerja, di bilangan Jalan Raya Bogor daerah KUD aku melihat seorang perempuan hamil di dalam becak yang bergerak lambat. Aku melihat seraut kelelahan dan kesakitan di wajah perempuan itu dengan sesekali ia mengelus perutnya.

Jarak dari KUD menuju rumah sakit terdekat cukup jauh, sekitar tiga kilo. Terang saja aku menghentikan Innova-ku beberapa meter di depan becak tersebut dan meminta perempuan itu ikut bersamaku.

“Terima kasih, Mas. Udah mau bawa istri saya.” Ujar penarik becak yang ternyata suami perempuan itu.

“Mas ikut juga bersama saya, becaknya dititipkan saja dulu.” Saranku.

Sesampainya di rumah sakit aku tidak langsung meninggalkan mereka begitu saja di ruang bersalin, apalagi melihat wajah sang suami --penarik becak tersebut-- yang begitu tegang.

“Tenang, Mas. Serahkan semuanya pada dokter dan perawat yang lebih ahli.” Aku mengajaknya berbicara.

“Insya Allah, Mas. Saya benar-benar khawatir, apalagi ini kehamilan pertama istri saya.”
Aku paham akan kekhawatirannya.

“Yang saya takutkan juga adalah biaya persalinan ini, Mas. Saya hanya penarik becak. Penghasilan saya hanya cukup untuk makan saya dan istri.”

“Jangan khawatir dengan masalah biaya, Mas. Allah selalu memberikan yang terbaik bagi umat-Nya. Insya Allah dan bila Mas mengizinkan, saya akan menanggung biaya persalinan bahkan keperluan bayi Mas nantinya.”

“Terima kasih banyak, Mas. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada istri, anak-anak, dan keluarga Mas.”
Aku hanya tersenyum dan mengaminkan doanya dalam hati.

Dalam perjalanan pulang pikiranku masih tertuju pada penarik becak tadi. Pertemuan itu membuatku merindukan sosok seorang anak yang akan meramaikan rumahku. Sosok yang akan memanggilku ayah. Tak henti aku memohon akan hal itu kepada-Nya. Huff… aku hanya menghela nafas panjang.
***

Waktu menunjukkan pukul sepuluh pagi. Aku harus membawa Tirtir kembali chek up karena ia sering mual dan muntah-muntah bahkan yang membuatku semakin khawatir adalah sering kali ia pingsan. Entah apa yang terjadi padanya. Aku berharap ini adalah sebuah kebaikan.

“Bagaimana, Rum? Apa istri saya baik-baik saja?” Tanyaku pada dokter Arum. Sama seperti dokter Anies, dokter Arum adalah teman semasa sekolahku dulu.

Dokter Arum menyunggingkan senyum dan aku tak mengerti maksud senyumannya, “Selamat! Istrimu sedang hamil tiga bulan.”

Aku benar-benar kaget dengan apa yang dikatakan oleh dokter Arum. Kesedihan dan kebahagiaan menyelimutiku begitu saja. Aku benar-benar bersyukur atas karunia ini. Lagi-lagi Ia memberikan kebahagiaan kepadaku.

Setelah mengantarkan dokter Arum keluar rumah, aku langsung menghubungi Mas Adi untuk memberitahukan berita gembira ini dan memintanya datang kerumahku. Sembari menunggu aku menghampiri istriku yang senyum-senyum melihatku.

“Sayang, Alhamdulillah kita telah diberikan izin untuk memperoleh anak.” Ujarku pada Tirtir.

“Iya, Bi. Umi juga nggak habis pikir begitu besar karunia-Nya pada kita.”

“Mungkin Allah memberikan pesan bagi kita untuk tetap menjaga izzah-Nya dengan apa yang telah kita dapat selama ini.”

“Iya, Bi."

"Sungguh nikmat yang luar biasa. Penyakit Umi yang tiba-tiba saja tidak merusak kandungan Umi dan kini Umi hamil. Ya Allah, kami begitu kecil dan lemah.”


Tirtir tersenyum, “Semoga kita bisa menjaga amanah ini dengan baik, ya. Sebening kasih-Nya pada kita.”
Aku mengangguk kemudian memeluknya dan mengecup keningnya yang lembut.

“Bi, belikan Umi playstation sekarang ya.”

Keningku berkerut, “Untuk apa, Mi? Kok minta PS.”

“Umi kan ngidam kepengen main PS, Oke Bi!” Tirtir mengerlingkan mata kanannya padaku dan aku nyengir.

Bandung, 28 Desember 2008
Catatan:
(1) Petrichor adalah bau tanah yang baru saja dibasahi oleh hujan.
(2) Puisi “Munajat Seorang Hamba; Rudi Armanda” dengan sedikit perubahan.
(3) The Silent killer atau Kanker Ovarium (Kista Ovarium) adalah kanker pada ovarium yang menyebabkan kematian terbanyak karena muncul tanpa gejala (asimtomatik) dan baru menimbulkan keluhan jika masuk pada stadium lanjut.
(4) QS. Al-Baqarah: 155
(5) Wajan bolik merupakan piranti keras yang digunakan untuk menangkap sinyal radio, biasanya digunakan untuk pengelolaan internet.

Beberapa bulan telah berlalu seperti biasa aku menjalani hari-hari dengan biasanya sebagai seorang penulis lepas, programmer lepas, dan fotografer lepas. Tidak ada pekerjaan tetap yang kumiliki melihat sulitnya mendapatkan pekerjaan di kota-kota besar seperti Bandung dan Jakarta, hanya sebuah title yang kusandang sejak lulus kuliah dulu sebagai sarjana teknik. Lain halnya dengan istriku, lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dengan predikat cumlaude dan kini bekerja sebagai dokter di beberapa rumah sakit di daerah Jakarta dan sekitarnya.

Aku pernah merasa minder dengan istriku. Parasnya yang cantik, putih dan bersih sangat berbeda jauh dengan diriku. Aku yang memiliki paras pas-pasan dengan warna kulit kecoklatan ditambah lagi beberapa bekas luka di lengan, dagu serta keningku. Luka karena kecelakaan yang lama kudapati semenjak sekolah dasar. Namun, aku sangat bangga terhadapnya walau kadang dia sangat manja kepadaku, sebagai suami aku merasa sangat beruntung mendapatkannya. Perempuan shalihah yang bertakwa, mencintai kebaikan dan tak pernah lupa berdzikir kepada Allah. Mendengar kata-kata yang menyakitkan keluar dari mulutnya pun aku tak pernah.

Beberapa hari terakhir kondisi kesehatan istriku mulai tidak stabil, nafsu makannya berkurang, dan tubuhnya semakin kurus. Aku pikir ini hanya karena aktifitasnya yang melelahkan dan butuh cukup istirahat saja. Namun, perkiraanku meleset. Istriku mengidap penyakit ganas yang memaksanya untuk mengehentikan aktifitas kedokteran dan mengharuskannya opname sebagai pasien di Rumah Sakit Dharmais, Jakarta Barat.

“Abi, Sudah jam berapa ini?” Tanya Tirtir yang terbangun dari tidurnya dengan suara cukup berat.

“Jam setengah dua pagi, sayang. Kenapa?” aku berbisik di telinganya.
Tirtir terdiam sejenak. Matanya menerawang ke langit-langit, aku hanya diam dan menahan air mata yang siap tumpah.

“Umi haus…” Nada suaranya semakin lirih dan hampir tak terdengar.

Langsung saja aku mengambil segelas air putih dari meja dekat tempat Tirtir terbaring lemas. Sebelum kusematkan sebuah sedotan ke bibir Tirtir, kutangkap sebuah nada datar keluar dari bibirnya, sebuah doa yang terlantun berulang kali dan terus dilantunkannya. Aku bergetar menyaksikan istriku begitu lemah.

“Umi, minum dulu ya.” Tukasku, sembari membantunya bangkit dari pembaringan.

Usai Tirtir minum, aku meminta diri untuk pamit sejenak menunaikan shalat tahajud dan meminta Mas Adi untuk menjaga Tirtir selama aku pergi ke masjid.

Malam semakin hening dan sunyi. Hanya nyanyian gerimis dengan wangi petrichor(1) yang menyeruak dan detak jarum jam yang begitu kuat terdengar di telingaku. kutunaikan tahajudku lalu sesenggukan begitu saja dalam setiap doa yang kupanjatkan untuk istriku.

dalam dekapan tangan cinta
aku pasrahkan pada Sang Maha Pencipta
karena hanya di dalamNya
kesejatian cinta menjadi nyata

aku tak pernah menyangka
dan tak pernah merencanakan
bahwa aku menyayanginya

apakah ia memiliki cinta sekadar dengan cintaku padaMu?
cinta itu muncul dengan ketakberdayaannya
menyergapku
memelukku

aku pasrah
tapi bukan tidak berdaya
aku menerima
tapi bukan tanpa senang dan bahagia

jiwa yang telah Engkau pilih
oleh cintaMu yang tulus
tidak akan gamang dengan kedudukan
apalagi oleh rupa dan penampilan

ia hadir begitu anggun
yang akan menghibur saat sedih
saat aku terpuruk
membimbing hati
dan menjadi pelita dalam gelap

saat kerinduan padaMu telah memuncak
aku berdoa untuknya
dan karena rindu yang sudah tak tertanggungkan(2)
***

Aku berlari dari area parkir menuju pintu Rumah Sakit Dharmais. Sempat kulirik beberapa orang yang duduk di ruang tunggu dekat pintu masuk memandangiku heran. Tanpa menghentikan lariku, langsung saja aku menuju ruangan Dokter Anies, teman semasa sekolah menengahku dulu dan juga yang manangani kesehatan istriku saat ini.

Sampai di depan pintu masuk ruang dokter, aku menyapa Mas Adi dan langsung saja menanyakan apa yang terjadi. Mas Adi hanya menjelaskan kesehatan Tirtir yang mulai memburuk.

“Kata Dokter Anies, Tirtir harus segera dioperasi.” Ujar Mas Adi.

Mendengar hal itu membuatku syok tak karuan. Aku rebahkan tubuhku keras ke dinding kamudian menangis sesenggukan. Aku khawatir kehilangan Tirtir dalam operasi ini walau aku akan kehilangan kesempatan memiliki seorang anak dari rahimnya. Tangisku sungguh tak tertahankan.

“Tenanglah, Angga. Serahkan kepada Allah. Dia yang memiliki segalanya.” Mas Adi menenangkanku walau aku menangkap matanya pun mulai tergenang air mata.

“Baiklah, Mas. Saya paham. Hanya ini satu-satunya jalan terbaik untuk menyelamatkan Tirtir.” Aku berusaha sekuat tanaga menahan air mataku dan kembali mengatur nafasku agar emosiku dapat terkandali.

“Saya masuk dulu untuk bertemu Dokter Anies.” Lanjutku.

Mas Adi menganggukan kepalanya dan mencengkram bahuku kuat seakan-akan dia berusaha untuk membuatku tegar dan ikhlas.

Setelah dokter mempersilakan aku duduk dan kami bertegur sapa sejenak, aku langsung saja menyetujui apa yang disampaikan dokter Anies kepada Mas Adi.

“Angga, tunggu dulu. Kamu tahu kalau operasi ini kamu setujui maka istrimu tidak akan bisa memberikan keturunan?” Anies mengingatkanku sebelum aku menandatanagani surat keputusan tersebut

“Saya tahu Nies dan saya tidak ingin istri saya menderita dengan penyakit ini.”

“Hm… baiklah, silakan tanda tangan dan doakan saya agar operasi berjalan dengan lancar.”

“Amin” ujarku singkat dan segera menandatangani surat keputusan itu.

“Operasi akan dimulai jam empat sore ini. Temuilah istrimu. Saya yakin dengan ketegaran dan ketabahan istrimu. Dia adalah dokter yang sangat hebat.” Anies tersenyum padaku.

Di kamar sebuah rumah sakit, aku duduk di samping istriku yang masih terlelap dalam tidurnya. Kuperhatikan tubuhnya yang semakin kurus, wajahnya cekung tak seperti dulu, selalu ceria dengan lesung pipinya yang manis. Kini ia tergeletak lemah.

Jarinya bergerak perlahan, terang saja kugenggam telapak tangannya untuk memberikan kekuatan dan isyarat bahwa aku ada di sampingnya. Sesaat itu pula ia membuka matanya lalu melirik kepadaku. Ia berusaha menyunggingkan senyuman dan mengerlingkang mata kanannya kepadaku. Aku tersenyum dalam balutan air mata.

“Abi, Umi kangen…” Tirtir mulai berbicara

“Kangen Abi, ya?” Aku menggodanya. Dia hanya tersenyum kecil sambil menahan sakit yang kulihat dari air mukanya.

“Sayang istirahat saja, ya.”

“Umi capek tiduran terus!”

“Abi ganggu Umi tidur, ya?”

“Gimana bisa tidur? Umi dari tadi merem-melek aja nggak bisa tidur.” Sempat saja Tirtir mengajakku bercanda padahal tubuhnya sangat lemah.

“Bi, Umi sakit apa sih?” Pertanyaan Tirtir membuatku bingung. Aku tidak ingin dia kaget dengan penyakit yang diidapnya. Aku tidak ingin menambah kepedihan dalam hatinya.

Say it, Bi. Umi juga dokter dan Abi jangan terlalu khawatir dengan kondisi psikis Umi.” Tirtir meyakinkanku.

Aku menghela nafas panjang, “Oke! Umi mengidap the silent killer(3)”

“Masya Allah…” Ujarnya terkejut.

Aku tahu hal ini pasti menyakitkan hatinya, membuatnya drop, bahkan aku siap mendengarkan tangisannya yang menjadi-jadi. Namun, suasana hening. Tirtir diam, menutup matanya. Aku melihat bibirnya bergetar dan melantunkan sebuah doa itu lagi, doa yang membuatku selalu terhenyak dan bergetar. Sekuat inikah istriku menerima cobaan-Mu ya, Allah.

“Abi, maafkan Umi yang selalu merepotkan Abi.” Lanjut Tirtir dengan nada bergetar. Perlahan air mata membasahi pipinya.

“Sayang, jangan berbicara begitu. Abi sangat tulus dan ikhlas mencintai Umi. Dan sesungguhnya akan Kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar?(4)” Aku meyakinkan Tirtir dengan petikan baitNya.

Tirtir mulai sesenggukan, tangannya menggenggamku tanganku erat. Tubuhnya bergetar dan kudapati sebuah senyum yang ia ulaskan tulus ke wajahku.

“Abi, Umi sangat beruntung memiliki suami seperti Abi. Andaikan Allah memang harus mengambil Umi kembali kepada-Nya, Umi hanya ingin Abi yang menjadi pendamping Umi di akhirat nanti.”

Aku hanya tersenyum, tak tahu lagi apa yang harus kukatakan padanya. Aku hanya ingin ia kembali sembuh dan sehat seperti semula. Aku sangat merindukan sosoknya yang penuh semangat dan ceria.

“Jam berapa operasinya, Bi?” Tanya Tirtir.

“Jam empat, sore ini. Masih empat setengah jam lagi. Umi istirahat, ya. Anies berpesan agar Umi cukup istirahat sebelum operasi nanti. ” Jawabku dan Tirtir mengiyakan.

Matahari telah dewasa. Lamat-lamat kudengar adzan Zuhur bersahutan dari beberapa masjid di luar Rumah Sakit. Ya Allah, kepada-Mu kami berserah diri.

“Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menyia-nyiakan amalan mereka. Ia menguatkan hati mereka dengan kekuatan-Nya, membantu mereka dengan kekuasaan-Nya, menjaga mereka dengan keperkasaan-Nya. Setelah itu Dia menganugerahkan keridhan-Nya pada mereka dan memasukkan mereka ke dalam surga-Nya.” (Muntadiyah Al-Musafir)
***
Syng, Umi tnggu di gdg teratai lantai dua ya. Luv u much, emuach;-)

Aku nyengir membaca SMS-nya. Setelah menerima SMS dari istriku, aku langsung beranjak ke lantai dua Gedung Teratai. Gedung itu terletak di selatan Rumah Sakit Cibinong. Sedikit berlari kecil, menaiki tangga, dan hup… aku sampai di depan meja informasi lantai dua. Kulihat ada tiga perempuan berkerudung putih sibuk dengan pekerjannya masing-masing.

“Assalamu’alaikum, Mbak” Sapaku pada salah seorang perawat berkerudung tadi.

“Wa’alaikumsalam. Bisa saya bantu, Pak?” Tanyanya lansung dengan ramah tersenyum.

“Saya Angga. Maaf, saya bisa bertemu dengan Dokter Tiara.”

“Suami Ibu Tiara, ya?”

“He… iya.” Aku kaget dengan pertanyaannya.

“Tadi, Ibu berpesan agar bapak menunggu beliau di sini. Insya Allah beliau tidak akan lama karena beliau sedang mengontrol pasien-pasien di kamar terakhir, 206.”
Aku mengangguk paham.

Menunggu istriku membuat suasana di sekitar meja informasi hening. Perawat-perawat yang berada di hadapanku sibuk dengan pekerjaan mereka.

“Bapak bekerja sebagai penulis, ya?” Salah seorang perawat dengan tanda nama Mela tiba-tiba bertanya padaku, Memecah keheningan, “saya dengar dari Ibu Tiara yang senang sekali berbicara tentang Bapak” Lanjut perawat tersebut.

“Beberapa karya yang Bapak tulis pun pernah saya dan perawat lain baca, tentunya dengan izin Ibu Tiara” Sambung perawat satunya lagi. Sepintas kulirik tanda namanya bertuliskan Rina. Ia memberikan sebuah senyuman yang cukup menenangkan.

Aku grogi dengan sebutan yang digunakan oleh perempuan itu untuk memanggilku, karena umurku masih terlalu muda untuk dipanggil bapak.

“Duh, sepertinya Dokter Tiara berhasil membuat saya semakin malu nih Mbak?” Kami berempat tertawa kecil.

Suasana tidak sehening sebelumnya. Aku dan ketiga perawat itu berbincang akan kesibukan rumah sakit setiap harinya, hingga akhirnya aku menangkap sebuah salam yang begitu kental, suara yang begitu hangat merasuk ke palung hatiku,

“Assalamu’alaikum, Abi.” Seorang perempuan berkerudung hitam polos dengan jas putih khas dokter.

“Alaikumsalam ya Umi” aku menjawab salamnya dengan penuh senyum keikhlasan seraya memeluk istriku erat. Tanpa sengaja kulirik beberapa perawat tadi sedang senyum-senyum melihat kami.

“Maaf menunggu lama ya, Bi. Umi baru aja selesai kontrol pasien nih. Kita ngobrol di ruangan Umi aja ya!” Pintanya padaku.
Aku manggut meniyakan ajakannya.

Aku berada di sebuah ruangan berukuran tiga kali empat meter bercat putih ditambah beberapa poster kesehatan yang ikut menghiasi. Di dinding bagian kiri ruangan terpasang sebuah jendela berukuran sedang dengan tirai berwarna putih bersih berenda. Kemudian, dua buah rak berwarna kehijauan terbuat dari besi tipis bertengger di sisi kanan ruangan, mungkin tempat berkas-berkas pasien. Lalu, di tengah ruangan terdapat sebuah meja kerja beserta berkas-berkas yang tertata rapi di atasnya. Aku menyungnggingkan senyum ketika melihat sebuah papan nama di atas meja tersebut bertuliskan sebuah nama yang membuatku begitu bangga, dr. Tiara Ramadhani Syammarhan, Sp.PD

“Abi, Maafkan Umi…” Ujar Tirtir --nama kesayangan istriku-- lirih, kualihkan wajahku ke arah istriku, mata kami beradu pandang.
Aku tersenyum menangkap binar matanya dengan raut wajah yang menandakan keresahan

“Kenapa meminta maaf, sayang? Tadi Abi tidak menunggu lama, kok.”

“Bukan itu.” jawab Tirtir

“Lalu?”

“Maafkan Umi, yang hingga kini belum bisa memberikan Abi keturunan.” Suaranya bergetar, wajahanya menunduk namun aku sempat melihat sebuah air mata menggenang di pelupuk matanya. Aku mendekat lalu memeluknya erat.

“Kita pernah membicarakan ini sebelumnya. Tak perlu bersedih, sayang.” Sebuah kecupan hangat kudaratkan di keningnya, tangannya semakin erat memlukku, dan aku merasakan butiran air matanya yang hangat meretas di dadaku.

Kembali aku teringat pada setahun yang lalu. Kami pergi untuk check up karena tak ada tanda-tanda kehamilan dari istriku. Saat itu aku berpikir, kesibukanlah yang membuat tanda-tanda itu tak terlihat. Namun, setelah kami memeriksa kesehatan kami masing-masing, tanpa kuduga bahwa istriku divonis mandul.

Aku terperangah dengan apa yang diucapkan dokter saat itu, mungkin dia salah. Tapi setelah kami cek kembali hasilnya tetap sama. Masih belum puas dengan hasil pemeriksaan itu, kami kembali melakukan check up di rumah sakit yang berbeda. Namun, hasilnya masih saja sama.

Mulailah terlihat pandangan sinis dari keluargaku terhadap perempuan yang sangat kucintai ini. Celaan dan hinaan makin hari makin jelas nampak. Hingga suatu hari ibuku berkata terus terang meminta agar aku menceraikan istriku dan menikah lagi atau bila tidak dengan jalan cerai asal istriku mau di poligami dengan tujuan bisa mendapatkan anak dari istri kedua nanti.
Aku tidak menerima usulan keluargaku saat itu. Aku berkata tegas pada seluruh keluarga bahwa aku tidak akan menceraikan istriku apalagi meninggalkannya dengan perempuan lain bahkan menduakannya. Aku mencintai istriku dengan tulus. Aku rela dengan keadaannya dan ia pun rela dengan keadaanku.

Masa-masa itu cukuplah berat bagiku sampai-sampai keluargaku mengucilkanku. Hal tersebut yang membuat istriku tahu bahwa aku telah merelakan keluargaku untuknya saat itu.

“Abi, Umi rela di poligami…” Suara Tirtir yang masih bergetar memecahkan kenanganku akan masa lalu.

“Sstt… Umi jangan berbicara seperti itu. Bukankah saat di awal menikah dulu Umi tidak ingin di poligami dengan alasan apapun? Abi sangat mencintaimu, sayang.” Aku meletakan telunjuk dibibirnya, berusaha menenangkannya walau sebenarnya hatikupun terserang kegelisahan.

“Tapi itu kan dulu, sekarang…”

“Sudahlah, sayang. Kita sama-sama ikhtiar dan tawakal, Allah punya skenario atas jalan hidup hamba-Nya.” Setenang mungkin aku memotong ucapannya agar dia tidak semakin larut dalam kesedihannya walau hatiku perih. Ya Allah kuatkan keimanan kami.

“Sayang kita pulang yuk. Sudah jam sembilan malam.” Usulku

Tirtir menganggukkan kepala masih dengan sesisa air matanya.
***

- Tulisan Berita
Berita adalah rekaman kejadian atau peristiwa yang sungguh-sungguh faktual atau terjadi di sekitar kita. Karena itu setiap berita memiliki tempo terbatas.

Ada beragam pengertian dan definisi mengenai apa yang disebut berita. Maka, pertanyaan paling awal mengenai proses penulisan berita adalah bagaimana wartawan bisa menilai sebuah fakta dan peristiwa layak diankat sebagai berita atau tidak. Dalam teori jurnalistik, tidak semua fakta dan peristiwa layak ditulis menjadi berita. Kita bisa memilih antara peristiwa dan fakta yang layak ditulis sebagai berita dan tidak karena memiliki 'alat ukur' yang disebut nilai berita (news value). Semakin tinggi news value yang terkandung dalam sebuah fakta, maka akan semakin kuat pula untuk diangkat sebagai berita.

News value tentunya memiliki indikator-indikator sebagai pengukuran, antara lain:
Lokalitas: Besar kecilnya dampak peristiwa itu bagi masyarakat (consequences).
Human interest: Menarik tidaknya dari segi ragam cara hidup manusia.
Prominence: Besar kecilnya orang yang terlibat dalam peristiwa.
Proximity: Jauh dekatnya lokasi.
Timelines: Baru atau tidaknya peristiwa.
Masing-masing ahli jurnalistik memiliki ragam indikator yang berbeda. Namun, dari banyaknya ragam indikator tersebut dua hal paling utama sebenarnya adalah indikator penting dan menarik.

Mengeksplorasi data. Setelah menemukan fakta peristiwa yang mengandung nilai berita cukup tinggi, maka langkah wartawan selanjutnya adalah menghimpun data-data yang menjadi bahan berita. Setidaknya seorang wartawan bisa menghimpun data dengan tiga cara, yaitu:

Pengamatan langsung, dilakukan dengan menggunakan seluruh panca indera untuk mendapatkan data sedetail-detailnya.
Wawancara dengan sumber berita, dengan bertemu secara langsung sumber berita.
Data-data tertulis (data sekunder).
Untuk menuliskan informasi secara utuh, eksplorasi data juga harus dilakukan dengan menggunakan dokumen, misalnya laporan keuangan, akte notaris, bahkan kliping pemberitaan.

Jenis-jenis berita. Selain hard news (berita keras), masih ada dua jenis penulisan berita yang umum hadir di media maasa, yakni features (berita kisah) dan laporan.
Features
adalah berita yang dikemas ringan dan rekreatif bersifat human interest, menghibur, santai dan mengupas satu isu atau permasalahan tertentu yang diangkat. Features dibuat agar pembaca tidak jenuh ketika membaca media yang dipenuhi straight news atau peristiwa dan fakta yang belum ter-cover melalui straight news.
Laporan adalah tulisan bersifat investigasi reporting, tulisan panjang dengan data lengkap untuk mengungkap kasus-kasus tertentu. Laporan dibuat untuk meng-cover tema-tema aktual yang tidak ditampilkan melalui straight news dan features. Keunggulan tulisan ini ada pada utuhnya persoalan yang ditampilkan, detail data yang disajikan, sudut pandang yang dikhawatirkan dan bahkan sisi-sisi sensitif yang sebelumnya belum atau tidak bisa diungkap.

- Tulisan Wawancara
Adalah tulisan dari hasil proses reportase atau wawancara. Tulisan ini biasa dibuat dari hasil wawancara dengan seorang tokoh yang dipandang berpengaruh, atau pakar dalam bidangnya. Bentuk tulisan ini bisanya bersifat tanya jawab. Selebihnya tidak aturan baku di dalam menulis wawancara, kecuali membuat tulisan tersebut enak dibaca. Oleh karena itu, tulisan wawancara selain judul juga memerlukan lead atau kalimat pembuka yang menarik, agar pembaca tertarik untuk membacanya.

- Tulisan Biografi
Adalah tulisan true story atau kisah nyata tentang kehidupan seseorang. Karena itu tulisan biografi berisi tentang seluk-beluk kehidupan seseorang dari lahir sampai meninggal. Memuat, asal kelahiran, latar belakang keluarga, jumlah saudara, pendidikan, kehidupan masa remaja hingga menginjak dewasa, fase membangun keluarga, hobi, pekerjaan hingga pandangan atau prinsip-prinsip hidupnya. Gaya penulisan tulisan biografi sangatlah bebas. Artinya memang tidak ada batasan baku tentang apa dan bagaimana tulisan biografi harus ditulis.

- Tulisan Feature
Sesungguhnya termasuk dalam jenis berita. Hanya saja pemberitaan dalam feature tidak ebrsifat langsung melainkan selalu bersifat tidak langsung. Tema-tema yang diangkat dalam tulisan feature tidak selalu harus terkini. Karena yang terpenting adalah sisi kemenarikan dari tema yang diangkat. Ditulis dengan gaya rileks. Bahkan terdapat feature yang lebih menggunakan gaya penulisan fiksi. Terlebih belakangan dengan adabnya jurnalisme sastra, maka batas fiksi dan non fiksi kerap sulit dibedakan.

- Tulisan Ringkasan
Tulisan yang berisi tentang intisari gagasan atau pemikiran sebuah buku atau lebih, yang disusun sependek mungkin. Karena itu ringkasan pula disebut sebagai tulisan padat atau pendek. Meringkas adalah mengambil pokok pikiran atau gagasan utama buku dan menyusun kembali ke dalam susunan yang sependek mungkin.

- Tulisan Renungan
Tulisan yang mengajak pembaca melakukan perenungan tentang sesuatu hal. Namun demikian umumnya tulisan renungan berisi tentang tema-tema keagamaan, moralitas dan kesadaran. karena itu ciri khas tulisan renungan adalah himbauan pada pembaca agar mereka menginsyafi sesuatu hal.

- Tulisan Editorial
Adalah opini atau sikap terhadap sesuatu persoalan yang dianggap penting oleh sebuah media. baik itu persoalan sosial, politik atau persoalan moralitas. Dalam tulisan editorial dimasukkan juga bagaimana solusi-solusi serta pandangan yang ditawarkan, berikut argumentasi-argumentasinya. Ada pun bentuk tulisan editorial sama seperti halnya dengan tulisan opini atau artikel.

(Disadur dari Agunk Irawan MN: Arti, "Cara Asyik menjadi Penulis Beken")

Merupakan tulisan yang menggambarkan kejadian sebenarnya. Fokus menceritakan kisah suatu peristiwa yang ada atau hal-hal lain, seperti sebuah gagasan pemikiran tentang suatu hal atau sebuah batasan problematika berikut solusinya. Tulisan Non Fiksi melibatkan kerja-kerja pikiran secara logis. Karangan ilmiah merupakan kategori tulisan non fiksi.

- Tulisan Esai
Berbeda dengan tulisan bentuk opini (artikel), ataupun berita. Walau esai terkadang melibatkan fakta-fakta untuk mengukuhkan gagasan yang dibangun, namun tuntutan fakta dalam esai, memiliki pemerian berbeda dengan berita yang cenderung terikat dengan aktualitas sistem penulisan 5 W + 1 H.

Karena itu tidak ada berita yang menulis kejadian masa lalu. Terkecuali masa lampau tersebut kembali hadir di masa kekinian. Sebaliknya esai cenderung mengambil tema-tema yang justru bersifat lampau. Sehingga membuat esai bersifat reflektif atau sekadar memahami sesuatu dengan cara pandang tertentu ketimbang menyodorkan sebuah gagasan, atau menginformasikan sebuah kejadian yang baru. Misal, esai-esai Gunawan Muhammad dalam rubrik Catatan Pinggir.

Sebuah esai dasar bisa dibagi menjadi tiga bagian yaitu:
* Pertama
Pendahuluan yang berisi latar belakang informasi yang mengidentifikasi subyek bahasan dan pengantar tentang subyek yang akan dinilai oleh si penulis tersebut.
* Kedua
Tubuh esai yang menyajikan seluruh informasi tentang subyek.
* Ketiga
Adalah bagian akhir yang memberikan kesimpulan dengan menyebutkan kembali ide pokok, ringkasan dari tubuh esai, atau menambahkan beberapa observasi tentang subyek yang dinilai oleh si penulis.

Jika dipetakan mengenai langkah-langkah membuat esai, bisa dirunut sebagai berikut:
1. Menentukan tema atau topik
2. Membuat outline atau garis besar ide-ide yang akan kita bahas
3. Menuliskan pendapat kita sebagai penulisnya dengan kalimat yang singkat dan jelas
4. Menulis tubuh esai; memulai dengan memilah poin-poin penting yang akan dibahas, kemudian buatlah beberapa subtema pembahasan agar lebih memudahkan pembaca untuk memahami maksud dari gagasan kita sebagai penulisnya, selanjutnya kita harus mengembangkan subtema yang telah kita buat sebelumnya.
5. Membuat paragraf pertama yang sifatnya sebagai pendahuluan. Itu sebabnya, yang akan kita tulis itu harus merupakan alasan atau latar belakang alasan kita menulis esai tersebut.
6. Menuliskan kesimpulan. Ini penting karena untuk membentuk opini pembaca kita harus memberikan kesimpulan pendapat dari gagasan kita sebagai penulisnya. Karena memang tugas penulis esai adalah seperti itu. Berbeda dengan penulis berita di media massa yang seharusnya (memang) bersikap netral.
7. Jangan lupa untuk memberikan sentuhan akhir pada tulisan kita agar pembaca merasa bisa mengambil manfaat dari apa yang kita tulis tersebut dengan mudah dan sistematis sehingga membentuk kerangka berpikir mereka secara utuh.


- Tulisan Kolom
Bersifat begitu bebas, terkait dengan bahasa ungkapannya yang memang sangat bebas. Kolom pada umumnya adalah berisi tentang analisis dari berbagai macam tema yang dilakukan seorang pakar. Beberapa penulis menyamakan tulisan kolom dengan esai. Farid Gaban misalnya berpandangan tulisan kolom adalah tulisan esai itu sendiri.

Hanya saja bentuk tulisn kolomcenderung memiliki gaya penulisan yang jauh lebih kaya ketimbang esai itu sendiri. Karena dalam tulisan kolom tidak dibatasi oleh hal-hal semata bersifat non fiksi. Sisi yang paling khas dari tulisan kolom adalah bahwa tulisan kolom begitu diliputi style personalitas penulisnya.

Pada dasawarsa 1980-an dan awal 1990-an kita memiliki banyak penulis kolom yang handal. Hal itu disebabkan mereka memiliki sudut pandang orisinal dan ditulis secara kreatif, populer serta "stylist". Mereka adalah, Mahbub Junaedi, Goenawan Mohamad, Umar Kayam, MAW Brower, Emha Ainin Nadjib, Faisal Baraas (kedokteran-psikologi), Bondan Winarno (manajmene-bisnis), Sanento Juliman (seni-budaya), Ahmad Tohari (agama), serta Jalaludin Rakhmat (media dan agama).

Namun, tidak semua yang mereka tulis adalah tulisan kolom yang terus-menerus serius hingga ke titik kejenuhan. Kadang mereka pun menulis beberapa cerpen dan novel dengan ide-ide dan kreativitas yang brilian.

- Tulisan Artikel
Ada banyak ragam pengertian artikel. Menurut Sharon Scull (1987) mendefinisikan artikel sebagai bentuk karangan yang berisi analisis suatu fenomena alam atau sosial dengan maksud untuk menjelaskan siapa, apa, kapan, dimana, bagaimana dan mengapa fenomena alam atau sosial itu terjadi dan kadang menawarkan suatu alternatif bagi pemecahan suatu masalah.

Bentuk tulisan artikel adalah sebagai berikut:
Pengatar,
Tubuh, dan
Kesimpulan.

Pengatarnya bisa berbentuk ringkasan dari tubuh artikel, kalimat tesis, atau apa saja, termasuk kutipan yang mewakili isi dari tubuh artikel. Tubuh artikel pun bisa berbentuk cerobrog, piramida terbalik dan lainnya.

- Tulisan Resensi
Resensi adalah tulisan yang membahas tentang buku, mulai dari kelebihannya, kekurangannya, isi serta kritikan terhadap buku tersebut. Tulisan ini juga disebut sebagai tulisan bedah buku, karena membedah isi dari buku yang diresensi. Dari tulisan resensi ini pembaca akan tahu tentang bagaimana isi buku tersebut. Adapun bentuk resensi tak berbeda dengan tulisan artikel atau opini, mulai dari pendahuluan, batang tubuh dan penutup.

- Tulisan Opini
Bentuk opini termasuk dalam jenis tulisan ilmiah populer. Tulisan ini berisi pandangan atau pendapat seseorang tentang sesuatu permasalahan dan sebab akibatnya serta solusi-solusi yang ditawarkannya. Opini terkadang disamakan dengan artikel. Akan tetapi sesungguhnya terdapat perbedaan mendasar antara opini dengan artikel. Dalam artikel sisi interest personal penulis seakan-akan mati.

Karena itu dalam artikel berbicara sepenuhnya adalah bagaimana gagasan yang dibawa dan problem yang hendak diselesaikan. Sedang dalam opini, meski gagasan dan unsur-unsur pemikiran tetap ditekankan, tetapi unsur personal penulis tidak dibatasi. Karena itu semakin subyektif sebuah opini, maka menjadi semakin menariklah tulisan tersebut.

(Disadur dari Agunk Irawan MN: Arti, "Cara Asyik menjadi Penulis Beken")

Fragmen Untuk Perempuan: duka, luka, airmata, dan cinta


Duka,
Kepulan aroma cemburu
Membeku limbung di lumbung nirwana
Menohok rasa asmara
Dalam semburat asa membara
Terdendang dalam pijar jingga hatiku
Membuatku terjaga dalam alunan mimpi
Tentangmu…

Luka,
Entah dirinya yang maha
Atau aku yang bernadirkan hampa
Tapi kata bertinta eja telah menyisi
Walau alunnya hanya mampu berbisik
Dan kilaunya tak seindah mawarnya

Airmata,
Harum semerbakmu, wangi lusuhmu, kenanganmu yang berziarah syair-syair luka
Engkau berkisah senja
Bukankah sekarang ada resah
Dan cinta menawarkan tangis
Dan cinta menitiskan sejarah
Dan cinta membasuh noktah

Cinta,
Matamu surge
Merona dalam sebuah sajak
Di sudut hatimu yang melagut
Tentang langit rindu
Tentang laut biru
Aku tersesat
Lalu bertaut
Dalam kemarau yang kau renggut.

Bandung – Serang Banten, 01 Juni 2008
*Jika Aku Dia adalah salah satu judul lagu yang diciptakan dan dibawakan oleh band Indie asal Serang, Banten. EIFEL.
Cat: Sebuah Kolaborasi Takiyo, Mbak Cibhi, Danu, Yugi_Yakuza, dan Rangga Mahesa

Jiwaku tersungkur
Menyemai kerapuhan di kegelapan malam
Masih, di sepertiga malam yang tak henti
Menjejakkan langkah seorang hamba
Yang tak pernah lekang merindu mati

Bentangan sajadah membasah
Membanjiri relung-relung nista
Semakin renta berpeluh air mata

Kepasrahan menengadah dalam lafadz cinta
Bersemayam dalam melodi-melodi alufiru
Tanpa henti menghempas raga
Pada daun-daun kering yang membatu
Ya, membatu dalam hatiku
Lalu membeku pada alum-alum saga

Izinkan waktu ini memalu rindu pada-Mu
Walau kelemahan dan kehinaan meraja
Begitu mesra dalam getir kelu
Izinkan waktu ini menitis dalam sukma
Dengan bait-bait keagungan-Mu
Mereguk segenap cinta-Mu yang tak pernah tandas
Hingga datang ajalku
Hingga aku menapaki jalan-Mu
Dalam kalbu yang abadi

Bandung – Jakarta, 31 Mei 2008
Cat: Sebuah Kolaborasi Takiyo dan MicHi_MoeT

Haruskah aku meminta rembulan?
untuk membuatmu tengadah
dan meninggalkan pias yang terpatri
(Takiyo)

Mengapa?
Apakah aku hanya seberkas sinaran rembulan?
Maka, dekatkan aku dengan mentari,
agar aku bersinar lebih terang.
Atau campakkan semua rembulanmu yang lain.
Yang lebih terang dariku
(Pikanisa)

Tak perlu kau memintaku
Karena hanya ada satu
Ya, rembulan yang ada di hadapanku
Begitu bersih, lembut dan sayu.
(Takiyo)

Sayangnya bulanmu belum utuh
Bulanmu masih separuh
(Pikanisa)

Rembulan tak purnama
Izinkanlah aku merindu akan dirimu
Walau hanya separuh
Yang tak lekang dalam pikiranku
(Takiyo)

Namun, rembulan yang lain
Tampaknya cukup lebih menggodamu
Berbisik akan kenangan purnama yang lalu
(Pikansia)

Mengapa?
Apakah Elegi yang pernah kita lukiskan
Pada sebuah kehidupan tidakalah cukup?
Atau mungkn kau tidak pernah memintaku
untuk mlukiskannya bersamamu?
(Takiyo)

Elegi,
Tidak lagi,
Karena bagian sinaran yang hilang
Telah kularungkan
Dan terbawa oleh deburan ombak di hembusan yang pasang
terapung di palung samudera
Kemudian menepi di pulau terasing
Ah… Terlalu memuakkan untuk kuarungi
(Piknisa)

Lalu mengapa kita diam?
Padahal kita sedang melukiskan sebuah kisah yang baru
Apakah kita harus berhenti?
Menidurkan emosi yang berjelaga dalam gemuruh nadi
Lalu berlari dari samudera yang menerali
Ya… Elegi yang datang tanpa pernah tumbang
(Takiyo)

Sudah,
Sudah penat untuk sekedar menjejakkan kaki ke dunia nyata,
Apakah sanggup untuk berlari?
Kalau aku tertidur,
Malam telah berganti pagi
(Pikanisa)

Apa yang engkau takutkan
pada pagi yang akan engkau hadapi?
Ada diriku di sampingmu
Tidak hanya untuk menemanimu,
Tidak hanya Elegi
Namun menjadi sebuah keikhlasan untuk dirimu
(Takiyo)

Mungkin,
Sekali lagi akan kubangun sebuah rakit Elegi
Dari sisa-sisa pelepah terdahulu
Dan tidak usah ada pilu,
Akan selalu ada malam-malamu yang menemaniku
(Pikanisa)

Bandung-Surabaya, 19 Mei 2008.
Cat: Puisi kolaboriasi Takiyo dan Pikanisa -- Takiyo (Malam) – Pikanisa (Rembulan)

"Mengarag atau menulis fiksi apapun adalah pekerjaan yang mudah". Begitu kata Arswendo Atmowiloto, penulis skenario Sinetron Keluarga Cemara, dalam bukunya yang berjudul "Mengarang Itu Gampang", yang diterbitkan sekitar tahun 80-an. Mudahnya mengarang, terkait karena dalam mengarang yang dibutuhkan adalah imajinasi.

Dalam dunia fiksi kepekaan diasah habis-habisan, mulai dari kemampuan dalam memilih suatu kata (diksi), menyusun kalimat serta menyusun alur. Karena itu menulis fiksi kerap diungkap sebagai menulis sastra. Pandangan itu wajar karena dalam fiksi, penulis dihadapkan dengan persoalan tentang bagaimana menyusun kalimat seindah dan seapik mungkin. Dalam ilmu kejiwaan, menulis fiksi diungkap positif bagi kepribadian penulis. Karena dengan itu emosi-emosi yang tersimpan dalam diri penulis akan mendapat penyaluran secara positif. Tidak salah bila sorang bijak menasihati muridnya, "kenalilah dirimu dengan mengarang".

- Tulisan Puisi
Puisi, adalah karya fiksi yang usianya paling tua. Sebelum cerpen dan novel ditemukan, karangan fiksi yang pertama kali ditulis manusia adalah puisi. Para sarjana modern mengungkapkan hal itu karena sifat puisi sebagai karangan yang dekat dengan diri manusia. Kedekatan itu berkait dengan kesamaan sifat-sifat puisi dengan kecenderungan manusia di periode awal, yang cenderung bersifat ekspresif dan emotif.

Sebuah puisi dibuat biasanya untuk menyampaikan perasaan, atau imajinasi tentang sesuatu hal, kondisi emosi, atau kesadaran-kesadaran yang sifanya abstraks. Puisi adalah karangan yang menggunakan sedikit kata. Dan setiap kata dipilih didasarkan pertimbangan makna, bunyi dan pengucapannya. Karena itu puisi cenderung mengedepankan keserasian antara ketiga hal tersebut. Bagaimana makna, irama kata, dan bunyi pengucapan mampu tersusun secara harmoni dan serasi. Dari situlah puisi enak dibaca keras-keras di depan khalayak.
Sebagai contoh puisi Chairil Anwar:

Aku
Kalau sampai waktuku
'Ku mau tak seorang 'kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedang itu

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menambak kulitku
Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga gilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi

(Chairil Anwar: Dian Rakyat, Jakarta, 1993)


Pada puisi Chairil Anwar itu, mempunyai tiga unsur penting. Makna kata, irama kata, serta bunyi pengucapan tersusn begitu serasi dan kuat. Sangat berbeda dengan ungkapan emosi pada umumnya. Karena itu puisi kerap dinilai sebagai karya fiksi yang estetis. Karena di dalam menyimpan ketinggian nilai-nilai keindahan.

-Tulisan Cerpen
Cerpen atau cerita pendek adalah karangan yang berbeda dengan puisi. Cerpen selalu membutuhkan kata-kata jauh lebih banyak ketimbang puisi, meski jauh lebih sedikit ketimbang novel. Cerpen hampir mirip dengan novel. Tapi pengkisahan dalam cerpen berbeda dengan novel. Cerita dalam cerpen lebih banyak memusatkan pada situasi perasaan, atau kondisi-kondisi emosi yang dirasakan pembaca dan karakter tokoh, ketimbang alur cerita. Dan tulisan cerpen kerap pula memasukkan latar belakang, tema, pelukisan watak, serta dialog-dialog yang sifatnya pendek.

-Tulisan Novel
Di antara karangan fiksi yang ada, novel mungkin adalah karangan fiksi yang paling panjang halamannya. Novel biasanya punya alur cerita yang diungkapkan dengan aksi atau adegan-adegan, cara berbicara, suasana serta pikiran-pikiran para tokohnya. Selain memiliki alur cerita, novel juga memiliki tema: makna keseluruhan dari jalinan cerita yang ada, setting waktu, nada (irama cerita), karakterisasi atau pengembangan dari karakter-karakter yang ada, dan juga dialog.

Alur novel, secara umum bisa disederhanakan menjadi tiga hal: Pendahuluan Konflik, Klimaks Konflik, Ensing atau penyelesaian. Namun demikian terkadang terdapat pula novel yangtidak membuat penyelesaian apapun dari cerita yang dibuatnya.

(Disadur dari Agunk Irawan MN: Arti, "Cara Asyik menjadi Penulis Beken")

Secara keseluruhan dengn mudah dapat kita pahami bila kita sering bahkan intens dalam membaca puisi, cerpen, bahkan novel dan terus berlatih menuliskan ide liar yang ada dalam pikiran kita (baca: penulis).

Dalam dunia kepenulisan, tulisan dibedakan menjadi dua macam, tulisan Fiksi dan tulisan Non Fiksi. Tulisan Fiksi adalah tulisan yang bersifat rekaan, karangan atau khayalan. Segala yang ditulis dalam tulisan fiksi bersifat sangat luas, sama luasnya dengan imajinasi manusia. Jenis tulisan fiksi antara lain adalah: puisi, cerpen, cerbung, cernak, serta novel.

Sedangkan tulisan Non Fiksi adalah kebalikan dari tulisan Fiksi. Tulisan yang selalau didasarkan pada realita yang ada., mulai dari fakta sejarah, asumsi ilmiah, serta temuan-temuan kasus yang memang sungguh-sungguh ada di lapangan. Misal, Opini (Artikel), Esai, Kolom, kisah Biografi, Resensi, Berita, Laporan penelitan. Adanya perbedaan antara kedua jenis tulisan ini, maka ahirlah perbadaan secara teknis di dalam menuliskannya. Tulisan Fiksi misalnya lebih banyak mengedepankan peran imajinasi ketimbang akal atau logika. Kisah Harry Potter karya JK. Rawling, salah satu contohnya. Betapa karya fiksi jauh melampaui batasan nalar yang ada. Nalar dalam dunia Harry Potter dibangun secara khas dan berbeda, bebas, ekspressif, dan sangat imajinatif. Walau beberapa karya fiksi memang ada pula yang tidak bertentangan dengan nalar bahkan begiu realis (myata) sebagaimana gambaran kehidupan kita.

Tulisan fiksi dapat digolongkan menjadi tiga, cerpen (short story), novelet (novelette) dan novel. Perbedaan diantaranya memang ada walaupun sangan tipis. Pembedanya dapat dilihat dari segi panjang-pendeknya karangan. Bisanya berdasarkan jumlah kata atau jumlah halaman juga kualitas struktur, kepadatan alur, dan intensitas jalan ceritanya.

Dari ketiga jenis fiksi tersebut, cerpen adalah bentuk fiksi yang paling pendek. Biasanya berisi sekitar 500 sampai 10.000 kata atau antara 2 s.d. 25 halaman kuarto dengan spasi 2. Kendati sama-sama pendek, bukan berarti semua cerita yang pendek digolongkan sebagai cerpen. Panjang cerpen bervariasi. menjadi 3 macam. Pertama, cerpen yang sangat pendek (short short story), biasa disebut dengan cermin 'cerpen mini'. Kedua, cerpen dengan panjang sedang (middle short story) yang selama ini dikenal sebagai cerpen. Ketiga, cerita panjang (long short story) dan bisa digolongkan sebagai novelet atau novel kecil. Pada kenyataannya (sekitar15.000 kata) sehingga sulit membedakan mana cerpen mana novelet. Hal tersebut berbeda jauh dengan novel yang penjangnya minimal 60 halaman (sekitar 20.000 kata).

(Disadur dari Agunk Irawan MN: Arti, "Cara Asyik menjadi Penulis Beken")

langit tak berbintang dalam syahdu malam ini
pun rembulan tersipu pada hening yang gulita
hanya angin yang berbisik merayakan sunyi
dan berlalu meluluhkan daun waktu
pada pesisir haru
pada palung ragu

bukan sajak miris
yang membalut rembulan dalam cermin haru
walau kau kirim air mata dalam gersang saharaku
pada gurun-gurun hatiku yang terik
lalu, pintu mana yang akan kau ketuk
saat kau sirna dalam sadar mataku

langit pun berbaring pada malam
sedang hati semakin basah
belum jua lelap dalam resah
karena air mata tak mampu berbicara
dalam bahasa cinta

Samarinda, 20 September 2008

kudengar lirih bisikmu
pada butiran kaca yang merindu
merahasiakan bening mutiaranya
kala fajar menjelma
: gemintang yang merona

kuseka peluh tangismu
pada tabah yang mesra
pada penantian jejak langkahnya
yang tersenyum lembut
: saat langit berbisik kepadaku

kukecup pias wajahmu
pada duka yang meraja
melantunkan puisi-puisi cinta
yang tersipu malu
: saat kumbang bermadu bunga

Samarinda, 29 Juli 2008

kemarin, seperti biasa kutatap langit
begitu manis dengan birunya cinta
menawarkan kemolekan sang awan yang berarak mesra

kutuang saja sebuah tinta dalam putihnya kertas
bersama cumbu kericau burung
lalu kuberi tanda pada hari itu
dengan hati yang berpualam senyum

Bandung, 19 April 2008

Saya pandangi jarum-jarum jam yang bertengger di pergelangan tangan kiri saya, masih sepuluh menit lagi hingga kami akan bertemu. Waktu sedikit berjalan lama mungkin karena kala itu sedang dalam bulan puasa. Tapi hal itu tidak menyurutkan niat saya untuk bertemu dengan mereka, teman-teman yang hanya saya kenal dalam dunia maya. Istilah kerennya adalah kopi darat atau kopdar.

Gedung Pramuka, di situlah kami berencana untuk bertemu. Bukan karena kami kehabisan tempat layaknya restoran, rumah makan, atau mungkin mall, tapi tempat tersebut setiap sorenya selalu dijadikan areal café lesehan yang cukup unik dan ramai dengan nuansa cukup natural di mana langit menjadi payung kami dan syukurnya cuaca cukup cerah tidak ada tanda-tanda akan turun hujan. Arealnya cukup luas tepat di sebelah mall yang cukup besar di Samarinda, Mall Lembuswana. Seraya menunggu, saya hanya melihat orang-orang sibuk berlalu lalang mempersiapkan peralatan dagang mereka, formatnya sederhana dengan areal penjual di sebelah kiri yang berukuran sepertiga dari areal café, di depannya dihampar meja-meja yang beralaskan karpet sederhana, dan di ujung café disediakan panggung musikal.

Lelah saya melihat mereka yang sibuk dengan tugasnya, saya lemparkan pandangan ke pintu masuk areal café, menebak-nebak siapa yang akan datang duluan namun tak satupun kendaraan yang masuk ke areal parkir café. Beberapa saat kemudian saya melihat seorang perempuan dengan sepeda motor matic-nya berhenti di dekat pintu masuk café, masih duduk di atas motornya ia merogoh saku kemudian mengeluarkan handphone dan mencoba untuk menghubungi seseorang, saya pikir dia adalah salah satu peserta kopdar. Namun, firasat saya nihil. Dia tidak menghubungi saya, sejenak dia berbicara entah dengan siapa lalu pergi begitu saja. Saya menghela nafas dengan sedikit kecewa, helaan itu menanadakan bahwa saya mulai lelah menunggu mereka, sempat saya berpikir bahwa mereka tidak akan datang.

Waktu telah menunjukkan pukul lima lebih sepuluh menit, mereka pun belum datang dari batas waktu yang ditentukan sebelumnya, pukul lima. Mungkin mereka masih berkelumit dengan kemacetan yang sering terjadi menjelang buka puasa ditambah lagi hari itu adalah hari Sabtu. Sesaat kemudian perhatian saya tertuju pada sepeda motor yang masuk ke areal parkir café, seorang perempuan turun dari motornya dan berjalan ke arah saya, sosok yang saya kenal, Gita Lydia. Setelah berucap salam, bertanya kabar dan kesibukan kini saya memiliki teman untuk sekadar berbincang menunggu teman yang lain.

Memang saya tidak begitu terkejut ketika Mbak Gita -begitulah saya memanggilnya- datang, walau ada rasa yang telah terbayarkan setelah bertemu lagi dengannya. Awal pertemuan kami adalah sehari sebelum hari itu, tepatnya hari jumat. Sepulang dari kantor saya menyempatkan diri untuk mencari tempat ia bekerja, sebelumnya saya tidak tahu di mana ia bekerja, namun dari MP-nya saya melihat foto-foto Mbak Gita bersama teman-temannnya tepat di depan gedung ia bekerja. Terlihat sedikit kabur alamat yang tertera pada banner kantor itu, saya membacanya pun dengan sedikit memicingkan mata agar fokus. Perlahan saya temukan sebuah nama, Jl. Bung Tomo.

Cukup jauh memang perjalanan dari kantor menuju institusi tempat Mbak Gita bekerja, dengan sepeda motor saja memakan waktu empat puluh lima menit. Sempat saya putus asa dan berpikir tidak akan menemukan kantor itu karena perjalanan saya yang sudah terlampau jauh, apalagi waktu telah menjelang buka. Selang lima menit kemudian saya berhasil menemukan nama intitusi yang tertera sama seperti di MP Mbak Gita. Saya Parkir motor dan tanpa ba-bi-bu saya memberanikan diri untuk langsung menuju kantornya.

Suasana kantor depan biasa saja layaknya kantor-kantor yang lain. Ruangan itu berbentuk huruf L, dengan sisi depan kanannya adalah ruang tunggu dan sisi kiri hingga kebelakang terdapat meja yang saya pikir adalah tampat informasi administrasi dan di ujung ruangan terdapat ruang-ruang yang tersekat. Mungkin ruangan itu adalah ruang kerja pejabat institusi tersebut.

“Assalamu’alaikum, apa benar salah satu pegawai di sini ada yang bernama Gita?” Begitulah saya mencoba untuk menarik informasi dari seorang perempuan berkerudung dengan wajah tirus yang menyambut kedatangan saya. Perempuan itu segera mengiyakan dan meminta saya untuk menunggu. Tidak lama kemudian seorang perempuan yang lain melintas di depan saya, saya melihat wajahnya sepintas dari balik kaca film kantor depan yang memisahkan kantor depan dengan areal parkir. Kemudian saya mengingat sebuah wajah di avatar situs kemudian dan MP, saya yakin bahwa dia adalah Mbak Gita.

Sebelum saya memperkenalkan diri, saya sempat memeprhatikan wajahnya yang cukup kebingungan melihat saya, entah karena fisik saya yang terbilang cukup bongsor atau sekelumit pertanyaan tentang siapa saya di dalam pikirannya.

“Assalamu’alaikum. Dengan Mbak Gita?” Saya menyapanya duluan dan memecahkan sedikit stagnansi yang terjadi. Dia mengangguk dan balik bertanya kepada saya.

“Saya salah satu member kemudian.com, id saya Takiyo…” Belum sempat saya melanjutkan perkenalan saya, tiba-tiba dia histeris dan membuat saya cukup kaget. Mungkin itulah ekspresi polos dari seseorang yang memang telah lama ingin rasa penasarannya terbayarkan, apalagi pertemuan kami hanyalah sebatas dunia maya. Memang sebelumnya kami membuat rencana-rencana untuk bertemu satu sama lain. Tapi memang kali itu saya mencoba untuk membuat pertemuan pertama sedikit mengesankan tanpa sepengetahuan Mbak Gita.

Saya hanya tersenyum melihat kehisterisannya dan tak sengaja mata saya tertuju kepada perempuan yang tadi menyambut saya di meja informasi, dia pun ikut tersenyum dan tertawa kecil melihat gelak Mbak Gita. Rupanya dia memperhatikan pertemuan kami.

Tidak lama kami berbincang karena pertemuan itu hanya membicarakan jadwal kopdar dengan teman-teman lainnya dan perihal apa yang perlu dibawa dalam kopdar tersebut, Mbak Gita pun menyetujuinya. Sebelum saya berpamitan kami sempat bertukar nomor kontak agar ke depannya mudah untuk berkomunikasi. Pertemuan kami berakhir biasa, namun pasti menyisakan kesan yang cukup menarik, seperti saya. Selama perjalanan menuju rumah, saya cukup kaget dengan sikap Mbak Gita. Awalnya saya pikir dia adalah orang yang cukup judes, jutek dan pedes, tapi pertemuan itu membuat saya salah besar dan berpikir sebaliknya. Mungkin selama ini saya hanya melihat sosok Mbak Gita dari foto-foto dan avatar-nya yang membuat saya berpikir demikian. Jujur, ketika saya melihat foto Mbak Gita saya merasakan aura yang memang aneh, dari mimik wajahnya saja sudah terliaht. Alisnya yang cukup tebal dan picingan matanya yang mengundang sosok amarah membuat saya bergidik. Ternyata pepatah benar adanya, don’t judge the book from its cover.

Lama kami berbincang sore itu membuat kami lupa bahwa waktu telah berjalan tiga puluh menit ke depan. Tak terasa memang, tapi kami masih perlu menunggu seorang lagi untuk memulai acara. Tak lama kemudian, seorang pria menggunakan pakaian muslim dengan tas punggung berukuran sedang yang dibawanya membuat kami sama-sama menaruh perhatian kepadanya. Sebelum ia masuk ke dalam areal parkir, masih di atas sepeda motornya ia tidak merogoh saku seperti perempuan yang saya lihat sebelumnya untuk mengeluarkan handphone dan menekan tombol-tombolnya untuk menulis sebuah pesan ataupun mencoba menghubungi seseorang. Ia hanya melirik ke arah kami dengan ekspresi sedikit bingung mencari-cari kebenaran atas rasa penasarannya. Saya dan Mbak Gita pun begitu, memandangnya dan mencoba memberikan jawaban bahwa di sinilah kami dengan ekspresi yang sama dengan pria itu dan tak lama berselang lelaki itu memarkirkan sepeda motornya bersebelahan dengan motor Mbak Gita.

Saya yakin bahwa ia adalah pria yang beberapa malam sebelumnya saya hubungi. Layaknya saya bertemu dengan Mbak Gita di kantornya, saya pun menghubungi lelaki itu dengan percakapan yang singkat perihal kopdar yang akan kami lakukan. Pria itu bernama Rizkie Rizaldy. Setelah Rizkie dan Mbak Gita berkenalan, tanpa berlama-lama lagi kami segera memesan tempat untuk berbuka shaum saat itu karena waktu semakin dekat dengan penghujung senja.

Acara di mulai dan masing-masing dari kami tidak sedikitpun yang merasa canggung, mungkin karena kuantitas dari kami saat itu terbilang minim, hanya tiga orang. Namun, suasana kekeluargaan yang terbina dalam waktu singkat itu begitu kuat. Setiap dari kami telah membawa karya dan kado untuk dibacakan dan ditukar seperti acara kopdar lainnya. Kebetulan sekali kami semua memberikan karya yang sama, yaitu puisi. Mbak Gita dengan puisi yang berjudul “Mencintaimu”, Rizkie dengan “Sahabat Maya” dan saya dengan “Lembar Kisah Sang Pujangga”. Sesi bertukar karya dan kado pun telah kami selesaikan, akhirnya kami memasuki sesi akhir dari pertemuan hari itu, sesi foto-foto. Tidak banyak foto yang kami ambil, berhubung Mbak Gita pun tidak memiliki waktu lama dalam kopdar tersebut. Berucap salam perpisahan dan mengharap akan adanya pertemuan selanjutnya mengantarkan Mbak Gita meninggalkan acara kala itu. Memang kami pun berencana untuk melakukan kopdar kembali setelah lebaran, sayangnya hal itu hanya sebatas wacana saja. Mungkin lain waktu.

Kini hanya saya dan Rizkie yang masih bertahan karena ide kopdar itu berawal dari niat untuk berbuka bersama. Tidak banyak yang dibicarakan selama kami berbuka, karena perut yang menyapa kami sedari tadi meminta untuk diselesaikan. Penghujung senja, ba’da Maghrib mengantarkan kami berpisah pada sebuah masjid. Begitulah pertemuan kami, pertemuan yang sederhana dan Insya Allah akan membekas dalam hati.

Mungkin akan lebih bijak bila kita memaknai sebuah pertemuan sebagai anugrah yang luar biasa, walau perpisahan di bagian akhirnya. Karena apa pun arti pertemuan dalam hidup kita sebagian akan menjadi metamorfosa sebuah kedewasaan dan sebagian lainnya akan membentuk sebuah stasiun kenangan.

KOPDAR Samarinda, 27 September 2008
Bandung 2008, Menjelang Pagi

"Mungkin akan lebih bijak bila kita memaknai sebuah pertemuan sebagai anugrah yang luar biasa, walau perpisahan di bagian akhirnya. Karena apa pun arti pertemuan dalam hidup kita sebagian akan menjadi metamorfosa sebuah kedewasaan dan sebagian lainnya akan membentuk sebuah stasiun kenangan."


Takiyo
Samarinda, menjelang pagi
27 September 2008

Bahasa adalah sebuah media yang penting dalam menjalin komunikasi. Apakah ia lembut ataupun kasar, kesemuaannya bergantung dari bagaimana kita memahami bahasa tersebut, bagaimana kita bertutur, berlaku, bahkan mencernanya untuk kemudian dicerna oleh orang lain. Sebut saja dengan "bahasa penulisan".

Mengapa ia begitu penting? Karena bahasa adalah rasa, di dalamnya terdapat kalimat bahkan kata-kata yang mampu menggubah.

"Kata-kata adalah pistol yang sarat peluru. Jika seorang penulis mengatakannya, maka dia pun menembakkannya. Dia mungkin diam, namun sejak dia memilih untuk menembak, maka dia haus melakukannya sebagaimana orang dewasa yang menentukan target tembakan, dan tidak seperti seorang bocah yang menutup matanya dan menembak sekadar demi kesenangan mendengar tembakan itu meletus."

(Dikutip dari apa yang dikatakan oleh Brice Parrin dalam sebuah artikel yang ditulis oleh Jean-Paul Sartre pada tahun 1965)

Melalui bahasa, ia (baca: karya sastra) akan menemukan pencerahan. Sebuah sosok misterius yang selalu menggetarkan dan menggemparkan emosi pembacanya.
(Joni Ariadinata, Aku Bisa Nulis Cerpen #1, 2006)

"Carmina vel coelo possunt deducere lunam"
pun sajak-sajak[bahasa] dapat membuat bulan turun dari langit

adagium sejarah filsafat bahasa