skriptorium beryl

literature & spiritual combination

June 30, 2009

Tidurholic

Tidur itu sebuah kenikmatan yang luar biasa bagi saya. Bagi orang-orang mungkin biasa saja karena itu lumrah. Setiap orang pasti perlu tidur sebagai ajang balas dendam dari aktivitas seharian yang melelahkan. Tapi tidak banyak yang porsi tidurnya tercatat berlebihan dalam aktivitas kesehariannya. Mungkin secara eksplisit dapat dikatakan bahwa tidur adalah sebuah hobi yang cukup digandrungi.

Salah satu diantara mereka yang hobi tidur ini adalah saya. Saya menyebutnya hobi karena saya tidak pernah memeriksakannya ke dokter atau ke dukun sekalipun. Kalau ini penyakit, ya saya anggap ini penyakit yang tidak ingin saya sembuhkan. Walau kadang hobi ini sering membuat saya sedikit kelimpungan ketika beraktivitas. Tapi namanya juga hobi, suka-suka donk. Let it flow gitu dech

Semasa Sekolah Menengah tingkat pertama, hobi ini sudah menggandrungi aktivitas saya. Mulai tidur di malam hari, tidur di saat jam pelajaran, tidur siang sepulang sekolah, sampai tidur petang usai olah raga dan kembali lagi tidur di malam hari. Berulang setiap 24 jam perhari, 7 hari perminggu, 4 minggu perbulan dan 12 bulan pertahun. Nggak nyangka hobi ini semakin menggila sampai akhir Sekolah Menengah.

Masih ingat kejadin semasa tingkat pertama, ketika jam pelajaran masih berlangsung. Saat itu saya sedang mendengarkan musik melalui headset yang sengaja saya pakai diam-diam. Pelajaran Pendidikan Seni saat itu membuat saya bosan dan mengalihakn pikiran saya untuk segera membuka mulut dan menguap selebar-lebarnya. Saya yang duduk di barisan kedua dari belakang tepat di pojok kiri kelas membuat saya laluasa untuk merebahkan kepala dan tidur seperti biasa. Ngantuknya nauzubillah

Hingga akhirnya sesuatu yang tak terduga terjadi, ini gara-gara Almas –teman sebangku saya- yang super usil mulai menjalankan rutinitasnya sehari-hari untuk mempermalukan orang lain dan saat itu sayalah yang apes.

“Oi Rud, bangun! Dipanggil Pak Samsul tuh.” Almas berbisik setengah keras ketelingaku.

Saya membuka mata perlahan dan luwesnya berkata setengah berteriak dengan jujur, adil, lugas, bebas dan tulus. “Ada apaan?”

Sedetik kemuadian saya menangkap puluhan pasang mata menatapku heran. Ada yang cekikian, ada yang cemberut, ada yang senyum-senyum, bahkan ada yang ngupil.

Almas melepaskan headset dari telingaku, “Itu dipanggil Pak Samsul.”

Aku kelimpungan dan berbisik ke Almas, “Eh, ada apaan?”

“Karena kamu pake headset, beliau minta kamu untuk mengekspresikan apa yang kamu dengar.” Almas juga menjelaskan sambil berbisik.

“Ekspresikan apa yang kamu dengar? Nggak salah?” Tanyaku penasaran pada Almas yang hanya senyum sambil mempermainkan alisnya. Sesekali saya melirik ke arah sang guru. Dasar guru aneh, bukannya dimarahin malah minta ekspresi-ekspresian.

Di depan kelas, saya hanya diam saja. Melihat sang guru yang hanya tersenyum dan mempersilahkan saya untuk melakukan tugasnya. Ragu-ragu saya lemparkan pandangan ke seluruh kelas. Asli itu adalah tiga detik terlama bagi saya, serasa satu tahun.

Tanpa ba-bi-bu dan dengan wajah setebal tembok 2 meter. Saya joget ala hip-hopnya Usher yang sedang hits saat itu. Sambil joget, saya perhatikan seisi kelas hanya diam dan terprangah melihat saya. Entah apa yang ada dalam pikiran mereka, yang jelas hidupku hancur saat itu. Harga diriku jatuh drastis. Ada yang menganga kaget, tertawa sambil menutup matanya mungkin dia takut lihat gajah lagi jingkrak-jingkrak di depan kelas, ada yang loncat-loncat sambil muntah-muntah, lempar kursi, sampai pak Samsul ikut-ikutan benturin kepalanya ke tembok.

Saya yang masih joget langsung bingung tujuh keliling. Terang saja saya berhenti joget dan bertanya kepada pak Samsul atas pertanyaan yang ia ajukan.

“Pak, mang pertanyaannya apa ya?” Tanyaku polos.

Masih sambil tertawa dan benturin kepalanya, “Kamu ini aneh-aneh aja. Saya minta kamu untuk menuliskan apa yang kamu dengar.”

Kontan seisi kelas tertawa semakin keras. Semakin berdarah-darahlah tuh kelas dan hancur. Apalagi hidupku, makin hancur. Ya Allah, ampuuunn….

Hal itu membuat saya semakin terkenal saja, apalagi saat duduk di tingkat tiga. Hobi saya semakin menggila. Tidak hanya tidur di kelas saat tingkat pertama, membawa sepeda ke sekolah juga tak lepas dari hobi saya. Sampai-sampai hal yang memalukan pun kembali terjadi. Upacara bendera pun saya sempat tidur sambil berdiri. Saat itu saya kebagian menjadi pemimpin regu (baca: pemimpin barisan kelas). Tentu saja saya menjadi pemimpin regu bukan tanpa perdebatan alot. Karena saya mulai sadar untuk menghilangkan hobi yang menyusahkan ini, teman-teman dan wali kelas pun memberikan kesempatan.

Tapi, lagi-lagi…

Saya mendengar suara narator lamat-lamat yang semakin lama semakin menghilang, PENGHORMATAN KEPADA PEMIMPIN UPACARA!

Saat itu saya tertidur dan tidak memberikan perintah yang seharusnya menjadi tugas saya. Rina, betubuh mungil yang berdiri di samping saya menyenggol badan saya untuk membangunkan saya dari tidur yang sudah mempermalukan saya juga seisi kelas. Tapi, saya malah BRUK… jatuh dan ngorok tanpa dosa.

Sudah tiga tahun saya rela hidup dengan hobi ini. Tidak ada konfrontasi. Walau ibu saya sudah meminta saya untuk mengatur pola tidur dan kegiatan, saya manut mengikuti sarannya. Tapi, masih saja hobi tidur ini tidak bisa diajak kompromi. Tapi ibu memang tak pernah berhenti untuk selalu mengasihi anaknya. Setiap pagi sebelum Subuh saya selalu dibangunkan oleh usapan halus dan kecupan hangat dikening serta bisikan yang selalu membuat saya semakin nyenyak –nah lo, kapan bangunnya ya? he… he… he…-

Hingga suatu hari ibu pernah jengkel melihat kelakuan saya yang tidak berubah. Masih saja seperti anak kecil yang selalu minta dibangunkan dari mimpinya.

“Nak, bangun udah jam setengah lima. Sebentar lagi Subuh. Buruan cuci muka dan sikat gigi.” Ibu menepuk kaki dan menusap kepala saya seperti biasa.

“Hm… Ia, nanggung lima menit lagi ya.” Saya berseru dengan nada sangat berat bahkan melawan kantuk pun tak kuasa.

Tak ada teguran lagi setelah itu, saya menunggu lima menit dengan masih tidur pulas dan mengiran-ngira lamanya lima menit lewat hitunganku di alam mimpi.

“Nak, bangun!” Sepertinya ibu mulai jengah, lamat-lamat saya dengar suaranya yang sedikit berubah dan gumamannya yang mulai panjang. Saya menaruh firasat bakalan di-byur.

“Eh, iya… iya.” Langsung saja saya bangun dan tidak menuju kran air. Saya berjalan menuju dapur melewati ruang santai dengan tertatih-tatih dan…

BRUKK!!!

Kaki saya menyandung sebuah bantal besar berukuran satu kali satu meter yang biasa digunakan untuk tiduran di ruang santai. Saya terjatuh dan akhirnya kembali ke alam mimpi.

Sejak saat itu ibu semakin tidak percaya membiarkan saya pergi ke dapur sendirian untuk berwudhu. Mungkin ia ingin saya bisa lebih mandiri. Shalat saja nggak bisa bangun sendiri apalagi mandi sendiri –eh salah ding-.

Takut dicap sebagai anak durhaka, akhirnya saya berinisiatif untuk bangun sendiri dengan menyetel weker di handphone saya. Menunjukkan pukul 2 dini hari dan setengah 5 pagi. Saya pasang dengan volume ringtone yang super guede agar saya bisa bangun. Sehari, dua hari, tiga, hari dan…tetap saja ibu masih setia membangunkan saya –waduh-.

“Udah! Mulai saat ini nggak usah nyetel weker lagi! Nyetel weker tapi nggak bangun-bangun. Tiap hari tetap aja mama yang bangunin! Udah suaranya gede lagi!” Ibu ngamuk-ngamuk sambil bawa parang.

Hua… mama apmuni anakmu ini. Hiks.

Mulai saat itu…. Eh, nggak ding. Akhirnya saya nyadar juga kalau saya masih nggak bisa meninggalkan hobi saya sampai kuliah saat ini.

He… he… he… kebayang kan kalau setiap pagi masih aja ada ibu yang nemenin shalat walau hanya lewat handphone.


Leo Tolstoy lahir di desa kecil Yasyana, Polyana, pada tanggal 28 Agustus 1828. Terlahir dengan nama asli Lev Nikoyevich Tolstoy sebagai putra keempat dari pasangan Nikolay Ilych Tolstoy dan Maria Nokolayevna. Ia sudah menunjukkan bakat menulis sejak berumur dua belas tahun dengan karya sastra pertamanya, sajak “Untuk Bibi Terkasih”.

Kegiatan tulis-menulis Tolstoy dimulai pada tahun 1951. Pengalaman semasa di angkatan perang terungkap dalam karya-karya pertama Tolstoy yang semakin hari semakin mendapat pujian dari beberapa kritisi terkenal. Dua tahun kemudian, Tolstoy mulai mempersiapkan sebuah karya Perang dan Damai. Salah satu bentuk persiapan itu berupa partisipasi aktif sebagai tentara memerangi pasukan Turki. Walaupun hanya sebentar, keterligatan Tolstoy dalam peperangan cukup member bekal yang memadai untuk melahirkan karya fiksi mengenai kehidupan seorang tentara. Salah satu cerita panjang terbaiknya dari periode ini adalah Dua Prajurit Berkuda.

Lebih dari sekadar melontarkan kritik atau mengangkat tema-tema kerakyatan, Tolstoy melangkah jauh ke depan dibandingkan dengan tokoh-tokoh lain di masanya. Ia melepaskan gelar kebangsawanannya, melakukan aktivitas seperti konsep kadesi, menerbitkan majalah sastra budaya, serta merenovasi kembali sekolah yang didirikannya di Yasnaya Polyana pada tahun 1862. Tolstoy bahkan mengidentifikasikan dirinya sebagai petani Rusi biasa. Selain itu, ia pun mulai menerbitkan buku-buku tipis dengan harga murah agar terjangkau oleh kantong rakyat biasa. Dapat dikatakan bahwa terjadi perubahan besar-besaran pada diri Tolstoy. Sejalan dengan hal itu, karya-karya Tolstoy semakin terasa menggigit dan bakat menulisnya pun semakin menonjol walaupun untuk menghasilkan suatu karya, kadang-kadang ia memerlukan waktu bertahun-tahun untuk menyelesaikannya.

Namun yang pasti, Leo Tolstoy memang memiliki pemikiran-pemikiran yang hakiki, bahkan kadang-kadang progresif tentang kebijakan, cinta, kemasyarakatan, maupun keagamaan untuk ukuran zamannya ketika itu. Sayangnya, tidak semua karyanya sempat diselesaikan. Akan tetapi, dari sejumlag kreasinya, Tolstoy tetap membuktikan dirinya sebagai master of thinking handal.

Pengamatan Tolstoy terhadap perilaku manusia, khususnya wanita, cukup mengejutkan juga. Bahkan dalam beberapa karyanya, tema wanita ia angkat menjadi tema sentral, terutama yang menyangkut masalah status sosial dan pergeseran nilai-nilai kewanitaan yang berlaku. Pernikahan yang tanpa dilandasi cinta melainkan status sosial semata, konflik-konflik keluarga akibat desakan serta tuntutan zaman, serta situasi tragis yang sering melanda kehidupan keluarga modern mendominasi karya ulung Tolstoy lainnya, yaitu Anna Karenina.

Dalam Anna Karenina, Tolstoy seakan-akan meneropong perkawinan Anna dan Karenin yang tidak didasari oleh cinta. Terjalinlah jalinan percintaan gelap Anna dengan seorang pemuda lain. Karenin yang terkungkung oleh status kebangsawanannya tidak menginginkan perceraian sekalipun Anna sudah hidup bersama dengan kekasihnya secara tidak sah. Ternyata keputusan Anna tersebut tidak membuahkan kebahagiaan. Untuk mengakhiti konflik psikologisnya yang sudah sedemikian rumit, Anna memutuskan untuk bunuh diri.

Sejak menyelesaikan karyanya, Perang dan Damai, pada tahun 1870, Tolstoy mengalami krisis kejiwaan mengenai ketuhanan. Ia menjadi lebih perasa dan sangat moralis. Ia juga mnejadi pembenci dan pengecam semua aliran seni. Ia sangat menjadi asketis. Ia menyerahkan semua kekayaannya untuk kaum miskin hingga berselisih dengan istrinya, Sophia Andreyevna. Ini yang membuat keduanya kemudian berpisah. Tak hanya sampai di situ, ia juga menjadi vegetarian dan berpakaian tak ubahnya kaum pengembara. Bahkan ia juga menolak institusi gereja dan pemerintah.

Pada saat-saat terakhir penyelesaian Anna Karenina, Tolstoy berhasil mengatasi krisis religiusnya, seperti tergambar pada karya tersebut. “Arti hidup, termasuk kehidupan itu sendiri, hendaknya disesuaikan dengan kebaikan batin seseorang, sebab hanya melalui kepercayaan terhadap perasaan hati dan taat pada ajaran keagamaan, seorang dapat menemukan kebahagiaan yang wajar,” demikian pendapat Tolstoy. Pandangan seperti itu terasa semakin menarik untuk disimak sebab diketengahkan oleh seorang Tolstoy.

Pada tahun 1910, kesehatan Tolstoy makin memburuk, ia kerap bertanya tentang istrinya, Sophia, namun anak-anaknya kerap mengalihkan pertanyaan itu. Padahal saat-saat itu Sophia sebenarnya telah tinggal di depan rumahnya, merasakan kesakitan yang sama. Namun pada tanggal 5 Nopember 1920, setelah beberapa kali gagal jantung, mautpun akhirnya menjemput penulis besar itu.

Disadur dari Cara Asyik menjadi Penulis Beken oleh Aguk Irawan MN

: Anisa

seperti bermimpi, kudengar petikan kecapi dengan gumam lirih di sampingku, seraut wajah menawan bagaikan purnama di genting kaca, aku tertawan. di telaga ini kau pinta mahkota sedang aku hanya jelata dalam balada-baladaNya, apakah kau akan pergi, bersama debu, tempias di repihan celana panjangku.

lihat, lihat apa yang kupunya! bukan bahtera yang kuikat apalagi kencana bersayap emas. hanya di ujung sana sebuah teja yang semakin jingga, terikat bersama camar berabad lalu, tapi tak pernah rapuh dan selembar roti cokelat ini entah siapa yang akan kubagi.

kau bergumam lagi seperti nyanyian peri, pernah kudengar seabad lalu tepat di telaga ini, berbisik, hanya berbisik kemudian sirna. apakah kau ia yang hilang itu, kau tak menjawab, tapi…

lagi kau bergumam, kau tak memetik kecapi, genggamanmu tepat menusuk jantungku. izinkan aku menikmati sebagian roti cokelat itu, pintamu.

hingga akhirnya aku tahu, mahkota yang hilang dalam sebuah balada seabad lalu. dan saat itu, petang menuju sukma-sukma kita yang lebih dahulu bersenggama, menirwana. utuhlah cahaya kita. utuhlah cinta kita. utuh.

Bandung, 24 Juni 2009. 08.42pm

malam ini kita duduk berdampingan, di atas perahu yang kupalu tadi pagi bersama wewangian mawar. menanti hujan yang tak kunjung datang, padahal menyapa mereka adalah isyarat sebuah pertemuan. kau bilang mereka titisan bunga ilalang yang bertandang bersama peri mungil. bagiku mereka tak sekadar itu, ya! merekalah perapian abadimu, sedang aku hanya penyair biasa tanpa sebuah nama.

kita masih beradu, apakah pesan yang kuselipkan padamu sudah kau eja? bahkan masih mengatruh, mengapa diam menjadi candu yang semakin berbahasa. jangan kau tuang lagi bersama lembaran naskahmu yang terbakar, aku masih ingin menitis bebaris liris. padahal samudera masih begitu luas tak habisnya dan biarkan kopi itu tetap hangat layaknya seduhan pertamamu.

dan malam ini kita duduk beralaskan bebunga melati dengan perapian yang kita sulam bersama sesisa waktu. bintang berkedip pada kita, mungkin mengiri kita saling bersentuhan. kain kafan yang kita kenakan kini tak mengartikan kenangan. ia menguning, entah karena ia lupa kita telah bercumbu atau bersetubuh dengan aksara semalam lalu.

mungkin kita akan menunggu, bagaimana hujan itu luruh di tepian waktu. seperti menanti sempadan senja pada petang, menyanyikan kidung asmara kita dan menikmati selembar roti cokelat. Hanya milik kita.

: Rama
kau tahu mengapa bintang
membiarkan kita mengeja aksaranya
dalam diam yang kita nikmati?

: Anisa
entahlah,
mungkin bintang-bintang itu sengaja
mengajarkan kita akan kata yang tak terucap.
bukankah diam adalah bahasa yang indah?

: Rama
ya! diam adalah bahasa yang indah.

Bandung, 10 Juni 2009. Ba'da Dhuha

: Anisa

syukurlah aku menemukanmu diantara dedaunan rapuh, menguning bersama waktu. memintaku untuk diam bersamamu, menikmati secangkir kopi hangat dan senja yang kaubalut dalam roti cokelat. syukurlah aku mengejamu di setiap tetes embun yang menghangat bersama repihan mentari. mengajakku untuk menari bersamamu, melukis sang awan dengan cinta yang kita ruapkan semalaman suntuk. ya! saat kita menyetubuhi aksara.

tidak perlu ingat kapan kita menata pekarangan di belakang rumah, pun gemericik air yang kita timba dari sumur yang semakin kering. yang kita tahu, dialah candu yang membuat kita menyatu. entah dalam hitungan waktu atau berbatas kenangan berabad lalu.

syukurlah kita bercengkrama lagi, walau kafan yang kita gunakan kini telah jauh berbeda warnanya. mungkin kita pernah saling melupa. ya! melupa karena kita pernah saling menemukan. Merindu karena kita pernah saling bercumbu.

jangan lupa kau catat sebuah pesan pada kertas kecokelatan dan tinta emas yang kuselipkan dalam tas belanjamu. aku hanya ingin engkau tahu, bahwa aku akan selalu merindukanmu pulang bersama waktu.

Bandung, 06 Juni 2009. Ba'da Subuh