skriptorium beryl

literature & spiritual combination

August 06, 2009

Bahasa Rindu

akhirnya, aku membahasakanmu dalam setiap tetes air mata yang merindu. menggenggammu bersama titik embun yang semalam meningkahi fajar, menunggu waktu, menepi kemudian singgah di selasar rumahku. bukan! kau tidak singgah melainkan meminangku. kau datang tanpa seucap kata, tatapmu memberi seribu pertanda. sebuah maha karya yang begitu jelita.

namun, pernah kau lihat bagaimana mentari menyapa pagi? atau kemarau yang merindukan gerimis di tengah padang gersang? kau adalah mawar terindah di taman kata. bidadari nan santun dari kepungan pulau di antara banyak pemuja. ya! telah tiga belas purnama kita menyapih sukma di tepian muara dan memintal sutera yang menutupi pesona wajahmu menyandingi embun di sepasang mata indahmu.

ingin munajat ini kuikat bersama rerumpun ilalang kesukaanmu. menyenandung irama surga yang kau beritakan kepadaku. mungkin kita telah menyatu, mungkin kita utuh, mungkin hatimu rapuh, atau aku adalah rusuh. lalu kau tahu bagaimana aku memujamu?

sampai kini kau masih berkisah akan senja yang pernah hilang. menyisakan luka demi menjaga hati lain hawa untuk tetap berbunga. inilah isyarat yang selalu kutitipkan pada bebaris puisi. pertanda yang mungkin kau tak mengerti, kristal yang kupungut dari telaga matamu telah kusulam menjadi mutiara. hanya untukmu dalam setiap dukamu.

ah, akhirnya aku belajar mengeja rindu dari embun dan senja yang kau titipkan padaku. hingga aku tahu, singgasana ini hanyalah untukmu.

Bandung, 29 Juli 2009

aku tidak ingin kau pecah. namun,
kau memintaku melemparkan batu
pertanda kita musnah dalam cinta

Bandung, 17 Juli 2009

dirimu, atau
dirnya

aku mengeja isyaratku
bukan di matamu

Bandung, 06 Juli 2009

aku cinta kepadaNya
kamu cinta kepadaNya

Dia cinta kepadaku
Dia cinta kepadamu

kamu cinta kepadaku
kita saling menyinta
namun, aku tidak memilihmu

Bandung, 06 Juli 2009

aku membaca isyaratmu, semalam
purnama tak bergenap
dalam kopi yang kau seduh untuknya.

Bandung, 05 Juli 2009

sudah tujuh purnama aku tidak melukismu
yang kuingat dulu hanya kuas dan
secarik kertas lusuh di depan mataku
ingin rasanya melukis cinta itu
kembali di matamu walau tanganku
tak mampu menggenggam ronamu.

masih kau ingat,
lembar kisah yang sempat memudar dulu
kutoreh tepat bersama genap purnama tengah malam
aku baru tahu jika ia berbahasa
mencumbu langit dan tenggelam
bercelupan tinta hitam
kupikir biru kesukaanmu.

namun, sekali lagi aku bukan pujangga
atau dewa-dewa romatisme yang kau kenal
dalam abad bahkan dekade-dekade langkahmu
menjejak kemudian pergi bergitu saja
dan juga, aku bukan seorang hais
meminta laila dalam setiap air matamu.

cukup ini saja,
kau tak pernah tahu dan
aku tak ingin tahu
apakah cinta yang membatu
atau kita yang membisu.

Bandung, 30 Juni 2009