skriptorium beryl

literature & spiritual combination

“Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menyia-nyiakan amalan mereka. Ia menguatkan hati mereka dengan kekuatan-Nya, membantu mereka dengan kekuasaan-Nya, menjaga mereka dengan keperkasaan-Nya. Setelah itu Dia menganugerahkan keridhan-Nya pada mereka dan memasukkan mereka ke dalam surga-Nya.” (Muntadiyah Al-Musafir)
***
Syng, Umi tnggu di gdg teratai lantai dua ya. Luv u much, emuach;-)

Aku nyengir membaca SMS-nya. Setelah menerima SMS dari istriku, aku langsung beranjak ke lantai dua Gedung Teratai. Gedung itu terletak di selatan Rumah Sakit Cibinong. Sedikit berlari kecil, menaiki tangga, dan hup… aku sampai di depan meja informasi lantai dua. Kulihat ada tiga perempuan berkerudung putih sibuk dengan pekerjannya masing-masing.

“Assalamu’alaikum, Mbak” Sapaku pada salah seorang perawat berkerudung tadi.

“Wa’alaikumsalam. Bisa saya bantu, Pak?” Tanyanya lansung dengan ramah tersenyum.

“Saya Angga. Maaf, saya bisa bertemu dengan Dokter Tiara.”

“Suami Ibu Tiara, ya?”

“He… iya.” Aku kaget dengan pertanyaannya.

“Tadi, Ibu berpesan agar bapak menunggu beliau di sini. Insya Allah beliau tidak akan lama karena beliau sedang mengontrol pasien-pasien di kamar terakhir, 206.”
Aku mengangguk paham.

Menunggu istriku membuat suasana di sekitar meja informasi hening. Perawat-perawat yang berada di hadapanku sibuk dengan pekerjaan mereka.

“Bapak bekerja sebagai penulis, ya?” Salah seorang perawat dengan tanda nama Mela tiba-tiba bertanya padaku, Memecah keheningan, “saya dengar dari Ibu Tiara yang senang sekali berbicara tentang Bapak” Lanjut perawat tersebut.

“Beberapa karya yang Bapak tulis pun pernah saya dan perawat lain baca, tentunya dengan izin Ibu Tiara” Sambung perawat satunya lagi. Sepintas kulirik tanda namanya bertuliskan Rina. Ia memberikan sebuah senyuman yang cukup menenangkan.

Aku grogi dengan sebutan yang digunakan oleh perempuan itu untuk memanggilku, karena umurku masih terlalu muda untuk dipanggil bapak.

“Duh, sepertinya Dokter Tiara berhasil membuat saya semakin malu nih Mbak?” Kami berempat tertawa kecil.

Suasana tidak sehening sebelumnya. Aku dan ketiga perawat itu berbincang akan kesibukan rumah sakit setiap harinya, hingga akhirnya aku menangkap sebuah salam yang begitu kental, suara yang begitu hangat merasuk ke palung hatiku,

“Assalamu’alaikum, Abi.” Seorang perempuan berkerudung hitam polos dengan jas putih khas dokter.

“Alaikumsalam ya Umi” aku menjawab salamnya dengan penuh senyum keikhlasan seraya memeluk istriku erat. Tanpa sengaja kulirik beberapa perawat tadi sedang senyum-senyum melihat kami.

“Maaf menunggu lama ya, Bi. Umi baru aja selesai kontrol pasien nih. Kita ngobrol di ruangan Umi aja ya!” Pintanya padaku.
Aku manggut meniyakan ajakannya.

Aku berada di sebuah ruangan berukuran tiga kali empat meter bercat putih ditambah beberapa poster kesehatan yang ikut menghiasi. Di dinding bagian kiri ruangan terpasang sebuah jendela berukuran sedang dengan tirai berwarna putih bersih berenda. Kemudian, dua buah rak berwarna kehijauan terbuat dari besi tipis bertengger di sisi kanan ruangan, mungkin tempat berkas-berkas pasien. Lalu, di tengah ruangan terdapat sebuah meja kerja beserta berkas-berkas yang tertata rapi di atasnya. Aku menyungnggingkan senyum ketika melihat sebuah papan nama di atas meja tersebut bertuliskan sebuah nama yang membuatku begitu bangga, dr. Tiara Ramadhani Syammarhan, Sp.PD

“Abi, Maafkan Umi…” Ujar Tirtir --nama kesayangan istriku-- lirih, kualihkan wajahku ke arah istriku, mata kami beradu pandang.
Aku tersenyum menangkap binar matanya dengan raut wajah yang menandakan keresahan

“Kenapa meminta maaf, sayang? Tadi Abi tidak menunggu lama, kok.”

“Bukan itu.” jawab Tirtir

“Lalu?”

“Maafkan Umi, yang hingga kini belum bisa memberikan Abi keturunan.” Suaranya bergetar, wajahanya menunduk namun aku sempat melihat sebuah air mata menggenang di pelupuk matanya. Aku mendekat lalu memeluknya erat.

“Kita pernah membicarakan ini sebelumnya. Tak perlu bersedih, sayang.” Sebuah kecupan hangat kudaratkan di keningnya, tangannya semakin erat memlukku, dan aku merasakan butiran air matanya yang hangat meretas di dadaku.

Kembali aku teringat pada setahun yang lalu. Kami pergi untuk check up karena tak ada tanda-tanda kehamilan dari istriku. Saat itu aku berpikir, kesibukanlah yang membuat tanda-tanda itu tak terlihat. Namun, setelah kami memeriksa kesehatan kami masing-masing, tanpa kuduga bahwa istriku divonis mandul.

Aku terperangah dengan apa yang diucapkan dokter saat itu, mungkin dia salah. Tapi setelah kami cek kembali hasilnya tetap sama. Masih belum puas dengan hasil pemeriksaan itu, kami kembali melakukan check up di rumah sakit yang berbeda. Namun, hasilnya masih saja sama.

Mulailah terlihat pandangan sinis dari keluargaku terhadap perempuan yang sangat kucintai ini. Celaan dan hinaan makin hari makin jelas nampak. Hingga suatu hari ibuku berkata terus terang meminta agar aku menceraikan istriku dan menikah lagi atau bila tidak dengan jalan cerai asal istriku mau di poligami dengan tujuan bisa mendapatkan anak dari istri kedua nanti.
Aku tidak menerima usulan keluargaku saat itu. Aku berkata tegas pada seluruh keluarga bahwa aku tidak akan menceraikan istriku apalagi meninggalkannya dengan perempuan lain bahkan menduakannya. Aku mencintai istriku dengan tulus. Aku rela dengan keadaannya dan ia pun rela dengan keadaanku.

Masa-masa itu cukuplah berat bagiku sampai-sampai keluargaku mengucilkanku. Hal tersebut yang membuat istriku tahu bahwa aku telah merelakan keluargaku untuknya saat itu.

“Abi, Umi rela di poligami…” Suara Tirtir yang masih bergetar memecahkan kenanganku akan masa lalu.

“Sstt… Umi jangan berbicara seperti itu. Bukankah saat di awal menikah dulu Umi tidak ingin di poligami dengan alasan apapun? Abi sangat mencintaimu, sayang.” Aku meletakan telunjuk dibibirnya, berusaha menenangkannya walau sebenarnya hatikupun terserang kegelisahan.

“Tapi itu kan dulu, sekarang…”

“Sudahlah, sayang. Kita sama-sama ikhtiar dan tawakal, Allah punya skenario atas jalan hidup hamba-Nya.” Setenang mungkin aku memotong ucapannya agar dia tidak semakin larut dalam kesedihannya walau hatiku perih. Ya Allah kuatkan keimanan kami.

“Sayang kita pulang yuk. Sudah jam sembilan malam.” Usulku

Tirtir menganggukkan kepala masih dengan sesisa air matanya.
***

0 comments:

Post a Comment