skriptorium beryl

literature & spiritual combination

malam ini kita duduk berdampingan, di atas perahu yang kupalu tadi pagi bersama wewangian mawar. menanti hujan yang tak kunjung datang, padahal menyapa mereka adalah isyarat sebuah pertemuan. kau bilang mereka titisan bunga ilalang yang bertandang bersama peri mungil. bagiku mereka tak sekadar itu, ya! merekalah perapian abadimu, sedang aku hanya penyair biasa tanpa sebuah nama.

kita masih beradu, apakah pesan yang kuselipkan padamu sudah kau eja? bahkan masih mengatruh, mengapa diam menjadi candu yang semakin berbahasa. jangan kau tuang lagi bersama lembaran naskahmu yang terbakar, aku masih ingin menitis bebaris liris. padahal samudera masih begitu luas tak habisnya dan biarkan kopi itu tetap hangat layaknya seduhan pertamamu.

dan malam ini kita duduk beralaskan bebunga melati dengan perapian yang kita sulam bersama sesisa waktu. bintang berkedip pada kita, mungkin mengiri kita saling bersentuhan. kain kafan yang kita kenakan kini tak mengartikan kenangan. ia menguning, entah karena ia lupa kita telah bercumbu atau bersetubuh dengan aksara semalam lalu.

mungkin kita akan menunggu, bagaimana hujan itu luruh di tepian waktu. seperti menanti sempadan senja pada petang, menyanyikan kidung asmara kita dan menikmati selembar roti cokelat. Hanya milik kita.

: Rama
kau tahu mengapa bintang
membiarkan kita mengeja aksaranya
dalam diam yang kita nikmati?

: Anisa
entahlah,
mungkin bintang-bintang itu sengaja
mengajarkan kita akan kata yang tak terucap.
bukankah diam adalah bahasa yang indah?

: Rama
ya! diam adalah bahasa yang indah.

Bandung, 10 Juni 2009. Ba'da Dhuha

0 comments:

Post a Comment