skriptorium beryl

literature & spiritual combination

Di depan kamar operasi aku dan Mas Adi menunggu dengan kecemasan yang sangat. Mas Adi adalah satu-satunya keluarga yang dimiliki istriku. Ayah dan ibu istriku meninggal karena kecelakaan setahun sebelum kami menikah. Aku lebih dulu mengenal Mas Adi ketimbang istriku. Lelaki jangkung dengan tubuh proporsional, berkulit kecoklatan dan mantan pemain basket sama sepertiku. Karena Mas Adi-lah aku diperkenalkan dengan istriku, Tirtir.

Pertama kali mataku berpapasan dengan Tirtir saat aku baru saja selesai membuat jaringan internet dari wajan bolik(5) yang dipesan oleh Mas Adi. Tanpa sengaja aku menemukan sesosok perempuan berparas cantik dengan balutan kerudung berwarna jingga dan jilbab putih yang menjuntai anggun. Hatiku berdebar kencang. Sungguh, saat itu aku hanya ingin segera pulang tanpa tahu siapa dia.


Namun, Allah memiliki skenario lain. Aku dipertemukan kembali dengan perempuan itu di sebuah rumah sakit ketika aku mengantarkan ayahku berobat. Aku pikir ini hanya kebetulan saja namun dokter yang merawat dan mengontrol kesehatan ayahku adalah perempuan yang sama yang kutemui pertama kali di rumah Mas Adi.


Beberapa bulan kemudian ayahku meninggal dan menyisakan kepedihan yang begitu dalam. Mas Adi pun ikut sedih dengan apa yang kuhadapi karena ia pun pernah mengalami hal itu sebelumnya, kehilangan figur yang selalu menyayangi dan mengayomi keluarga. Masih kuingat apa yang dikatakan Mas Adi saat itu bahwa Allah akan mengambil kembali apa yang ia titipkan kepada kita dan pada saat itupula Allah telah menyediakan kado istimewa untuk kita. Sebuah kalimat yang begitu dalam dan menyentuh hatiku.


Dua bulan setelah kepergian ayahku, di situlah Allah memberikan kado istimewa kepadaku. Sebuah kado yang hingga sekarang tetap kujaga. Saat itu Mas Adi memperkenalkanku dengan adiknya, Tirtir. Sebulan kami ta’aruf, akhinya kami pun sepakat untuk memperkuat keimanan dan ibadah kami dengan menikah. Begitulah aku menimbang masa laluku akan Mas Adi dan istriku yang kini tergolek lemah di kamar operasi.


Pintu kamar operasi tiba-tiba terbuka, Dokter Anies keluar dari balik pintu itu. Aku dan Mas Adi menghampiri dia bersamaan dan mempertanyakan kondisi istruku.


“Bagaimana, Nies?” Tanyaku gusar.

Kepala dokter Anies tertunduk sembari ia melepaskan jas putihnya kemudian menggantungkann jas tersebut di lengan kirinya.

“Bagaiamna, Dok?” Mas Adi bertanya tegas.

Dokter Anies menarik nafas panjang dan menghembuskannya kuat. Kepalanya menggeleng, belum sempat ia berkata apapun mataku nanar dan tak tahu lagi harus berbuat apa. Kesedihan itu semakin memuncak, berfluktuasi, dan meledak di dadaku.

Dokter Anies tidak menjawab pertanyaanku dan Mas Adi, dia masih saja diam.

“Kita bicara di ruangan saya.” Sarannya kemudian.

Hatiku berangsur tenang dan kesedihanku yang memuncak berhasil kutahan. Aku tidak ingin membuat semuanya runyam bila aku tidak berpikir dengan jernih.


“Angga, operasinya tidak jadi dilaksanakan. Karena keanehan terjadi.” Anies menerangkan singkat.


“Maksudmu?” Aku mengejar pernyataannya.


Dokter Anies memperbaiki posisi duduknya, tubuhnya yang sebelumnya bersandar pada kursi kini duduk dengan posisi sigap dan menatap kami serius.


“Belum sempat aku dan dokter lainnya menggoreskan pisau bedah di area kanker, pisau itu patah ketika menyentuh kulit istrimu. Tiga kali kami ulangi proses pembedahan namun pisau bedah kembali patah. Kami mengambil keputusan untuk menundanya nanti malam.” Papar Anies.


Aku hanya diam, tak sedikitpun bibirku mampu mengucapkan sepatah katapun. Pikiranku sudah melayang jauh, entah kemana. Apakah ini pertanda ataukah aku yang sengaja membuat pertanda itu ada dalam pikiranku. Yang jelas, aku hanya ingin istriku kembali sembuh seperti semula.

Menjelang operasi kedua, aku tidak diijinkan untuk bertemu dengan istriku. Dokter Anies memintaku untuk tenang dan ikuti prosedur yang ada. Aku hanya bisa pasrah, dan sesenggukan. Mas Adi yang berada di sampingku membiarkanku menangis, ia hanya merangkul pundakku dengan cengkraman yang kuat. Aku tahu, ia memintaku untuk tegar.

“Mau aku ceritakan tentang kepergian almarhum mertuamu?” Tanyanya padaku.

Aku diam, tak menjawab pertanyaannya.

“Ayah dan Ibu pernah berkata kepadaku juga Tirtir, untuk percaya kepada Allah atas segala sesuatu dan mereka meminta kami agar selalu berdoa kepada-Nya dengan sebuah doa yang begitu indah.” Mas Adi diam sejenak. Perlahan aku menenangkan hati dan mencerna apa yang dikatakan oleh Mas Adi.


“Doa apa itu, Mas?” Tanyaku.

Bismillah tawwakaltu alallah. La haula wala quwata ila billah. Kamu berusaha namun menyerahkan segala usahamu pada Allah, sebab tiada daya upaya selain daya upaya dari Allah semata.”

Tiba-tiba saja hatiku bergetar, doa yang selalu terlantun dari bibir istriku. Ya, doa itu. Doa yang membuatku begitu tenang, begitu teduh dan menyejukkan layaknya hujan dalam kemarau panjang di hatiku.


Proses pengoperasian Tirtir sedang berlangsung. Aku dan Mas Adi masih menunngu di tempat yang sama. Aku tidak bisa tidur malam itu, aku meminta Mas Adi untuk istirahat dan tidur barang sejenak agar nanti bisa bergantian untuk berjaga.

Sudah empat jam menunggu, tak sedikitpun aku mengantuk. Aku masih menunggu hingga pintu ruang operasi terbuka dan aku menghampiri dokter Anies tanpa meghiraukan Mas Adi yang masih terlelap.


Belum sempat aku bertanya pada dokter Anies, dia memintaku untuk tenang. Seraut senyum tergurat diwajahnya.


“Alhamdulillah. Operasinya berhasil, Ngga. Dan Tirtir masih perlu istirahat saja untuk pemulihan.”
Mendengar hal itu membuatku begitu tenang dan lega.

“Kasus ini membuatku belajar akan pertolongan Allah.” Lanjut dokter Anies

Aku hanya mengernyitkan keningku.

“Operasi hanya dilakukan untuk mengangkat kanker itu setelah Allah mengoperasi istrimu dengan Kuasa-Nya.”

“Maksudmu?”

“Allah telah membantu kami untuk mengangkat kanker yang ada dalam kandungan tanpa harus mengangkat ovarium istrimu. Tentunya ini sangat langka terjadi dalam dunia kedokteran.” Jelas dokter Anies.

Aku merasakah getaran yang hebat dalam dadaku. Sungguh Maha Kuasa Allah yang telah memberikn kekuatan-Nya.
***

Beberapa bulan kemudian
Selama pasca penyembuhan Tirtir menunjukkan kesehatan yang sangat baik. Aku semakin yakin bahwa dia sudah mantap untuk menjalani aktifitasnya lagi sebagai dokter. Sepertinya rasa sakit yang ia alami dulu sudah benar-benar hilang dan tak sedikitpun ia mengeluhkannya padaku.

Sejalan dengan rutinitas kami yang biasanya. Aku mendapatkan tawaran bekerja di sebuah instansi telekomunikasi di Bandung. Sungguh aku merasakan kebahagiaan yang berlipat. Terang saja aku mendiskusikannya bersama Tirtir dan kami sepakat agar aku mengambil pekerjaan itu.
Bulan berganti dan kini sudah satu setengah tahun kami sibuk dengan pekerjaan. Sepulang kerja, di bilangan Jalan Raya Bogor daerah KUD aku melihat seorang perempuan hamil di dalam becak yang bergerak lambat. Aku melihat seraut kelelahan dan kesakitan di wajah perempuan itu dengan sesekali ia mengelus perutnya.

Jarak dari KUD menuju rumah sakit terdekat cukup jauh, sekitar tiga kilo. Terang saja aku menghentikan Innova-ku beberapa meter di depan becak tersebut dan meminta perempuan itu ikut bersamaku.

“Terima kasih, Mas. Udah mau bawa istri saya.” Ujar penarik becak yang ternyata suami perempuan itu.

“Mas ikut juga bersama saya, becaknya dititipkan saja dulu.” Saranku.

Sesampainya di rumah sakit aku tidak langsung meninggalkan mereka begitu saja di ruang bersalin, apalagi melihat wajah sang suami --penarik becak tersebut-- yang begitu tegang.

“Tenang, Mas. Serahkan semuanya pada dokter dan perawat yang lebih ahli.” Aku mengajaknya berbicara.

“Insya Allah, Mas. Saya benar-benar khawatir, apalagi ini kehamilan pertama istri saya.”
Aku paham akan kekhawatirannya.

“Yang saya takutkan juga adalah biaya persalinan ini, Mas. Saya hanya penarik becak. Penghasilan saya hanya cukup untuk makan saya dan istri.”

“Jangan khawatir dengan masalah biaya, Mas. Allah selalu memberikan yang terbaik bagi umat-Nya. Insya Allah dan bila Mas mengizinkan, saya akan menanggung biaya persalinan bahkan keperluan bayi Mas nantinya.”

“Terima kasih banyak, Mas. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada istri, anak-anak, dan keluarga Mas.”
Aku hanya tersenyum dan mengaminkan doanya dalam hati.

Dalam perjalanan pulang pikiranku masih tertuju pada penarik becak tadi. Pertemuan itu membuatku merindukan sosok seorang anak yang akan meramaikan rumahku. Sosok yang akan memanggilku ayah. Tak henti aku memohon akan hal itu kepada-Nya. Huff… aku hanya menghela nafas panjang.
***

Waktu menunjukkan pukul sepuluh pagi. Aku harus membawa Tirtir kembali chek up karena ia sering mual dan muntah-muntah bahkan yang membuatku semakin khawatir adalah sering kali ia pingsan. Entah apa yang terjadi padanya. Aku berharap ini adalah sebuah kebaikan.

“Bagaimana, Rum? Apa istri saya baik-baik saja?” Tanyaku pada dokter Arum. Sama seperti dokter Anies, dokter Arum adalah teman semasa sekolahku dulu.

Dokter Arum menyunggingkan senyum dan aku tak mengerti maksud senyumannya, “Selamat! Istrimu sedang hamil tiga bulan.”

Aku benar-benar kaget dengan apa yang dikatakan oleh dokter Arum. Kesedihan dan kebahagiaan menyelimutiku begitu saja. Aku benar-benar bersyukur atas karunia ini. Lagi-lagi Ia memberikan kebahagiaan kepadaku.

Setelah mengantarkan dokter Arum keluar rumah, aku langsung menghubungi Mas Adi untuk memberitahukan berita gembira ini dan memintanya datang kerumahku. Sembari menunggu aku menghampiri istriku yang senyum-senyum melihatku.

“Sayang, Alhamdulillah kita telah diberikan izin untuk memperoleh anak.” Ujarku pada Tirtir.

“Iya, Bi. Umi juga nggak habis pikir begitu besar karunia-Nya pada kita.”

“Mungkin Allah memberikan pesan bagi kita untuk tetap menjaga izzah-Nya dengan apa yang telah kita dapat selama ini.”

“Iya, Bi."

"Sungguh nikmat yang luar biasa. Penyakit Umi yang tiba-tiba saja tidak merusak kandungan Umi dan kini Umi hamil. Ya Allah, kami begitu kecil dan lemah.”


Tirtir tersenyum, “Semoga kita bisa menjaga amanah ini dengan baik, ya. Sebening kasih-Nya pada kita.”
Aku mengangguk kemudian memeluknya dan mengecup keningnya yang lembut.

“Bi, belikan Umi playstation sekarang ya.”

Keningku berkerut, “Untuk apa, Mi? Kok minta PS.”

“Umi kan ngidam kepengen main PS, Oke Bi!” Tirtir mengerlingkan mata kanannya padaku dan aku nyengir.

Bandung, 28 Desember 2008
Catatan:
(1) Petrichor adalah bau tanah yang baru saja dibasahi oleh hujan.
(2) Puisi “Munajat Seorang Hamba; Rudi Armanda” dengan sedikit perubahan.
(3) The Silent killer atau Kanker Ovarium (Kista Ovarium) adalah kanker pada ovarium yang menyebabkan kematian terbanyak karena muncul tanpa gejala (asimtomatik) dan baru menimbulkan keluhan jika masuk pada stadium lanjut.
(4) QS. Al-Baqarah: 155
(5) Wajan bolik merupakan piranti keras yang digunakan untuk menangkap sinyal radio, biasanya digunakan untuk pengelolaan internet.

0 comments:

Post a Comment