skriptorium beryl

literature & spiritual combination

Saya pandangi jarum-jarum jam yang bertengger di pergelangan tangan kiri saya, masih sepuluh menit lagi hingga kami akan bertemu. Waktu sedikit berjalan lama mungkin karena kala itu sedang dalam bulan puasa. Tapi hal itu tidak menyurutkan niat saya untuk bertemu dengan mereka, teman-teman yang hanya saya kenal dalam dunia maya. Istilah kerennya adalah kopi darat atau kopdar.

Gedung Pramuka, di situlah kami berencana untuk bertemu. Bukan karena kami kehabisan tempat layaknya restoran, rumah makan, atau mungkin mall, tapi tempat tersebut setiap sorenya selalu dijadikan areal café lesehan yang cukup unik dan ramai dengan nuansa cukup natural di mana langit menjadi payung kami dan syukurnya cuaca cukup cerah tidak ada tanda-tanda akan turun hujan. Arealnya cukup luas tepat di sebelah mall yang cukup besar di Samarinda, Mall Lembuswana. Seraya menunggu, saya hanya melihat orang-orang sibuk berlalu lalang mempersiapkan peralatan dagang mereka, formatnya sederhana dengan areal penjual di sebelah kiri yang berukuran sepertiga dari areal café, di depannya dihampar meja-meja yang beralaskan karpet sederhana, dan di ujung café disediakan panggung musikal.

Lelah saya melihat mereka yang sibuk dengan tugasnya, saya lemparkan pandangan ke pintu masuk areal café, menebak-nebak siapa yang akan datang duluan namun tak satupun kendaraan yang masuk ke areal parkir café. Beberapa saat kemudian saya melihat seorang perempuan dengan sepeda motor matic-nya berhenti di dekat pintu masuk café, masih duduk di atas motornya ia merogoh saku kemudian mengeluarkan handphone dan mencoba untuk menghubungi seseorang, saya pikir dia adalah salah satu peserta kopdar. Namun, firasat saya nihil. Dia tidak menghubungi saya, sejenak dia berbicara entah dengan siapa lalu pergi begitu saja. Saya menghela nafas dengan sedikit kecewa, helaan itu menanadakan bahwa saya mulai lelah menunggu mereka, sempat saya berpikir bahwa mereka tidak akan datang.

Waktu telah menunjukkan pukul lima lebih sepuluh menit, mereka pun belum datang dari batas waktu yang ditentukan sebelumnya, pukul lima. Mungkin mereka masih berkelumit dengan kemacetan yang sering terjadi menjelang buka puasa ditambah lagi hari itu adalah hari Sabtu. Sesaat kemudian perhatian saya tertuju pada sepeda motor yang masuk ke areal parkir café, seorang perempuan turun dari motornya dan berjalan ke arah saya, sosok yang saya kenal, Gita Lydia. Setelah berucap salam, bertanya kabar dan kesibukan kini saya memiliki teman untuk sekadar berbincang menunggu teman yang lain.

Memang saya tidak begitu terkejut ketika Mbak Gita -begitulah saya memanggilnya- datang, walau ada rasa yang telah terbayarkan setelah bertemu lagi dengannya. Awal pertemuan kami adalah sehari sebelum hari itu, tepatnya hari jumat. Sepulang dari kantor saya menyempatkan diri untuk mencari tempat ia bekerja, sebelumnya saya tidak tahu di mana ia bekerja, namun dari MP-nya saya melihat foto-foto Mbak Gita bersama teman-temannnya tepat di depan gedung ia bekerja. Terlihat sedikit kabur alamat yang tertera pada banner kantor itu, saya membacanya pun dengan sedikit memicingkan mata agar fokus. Perlahan saya temukan sebuah nama, Jl. Bung Tomo.

Cukup jauh memang perjalanan dari kantor menuju institusi tempat Mbak Gita bekerja, dengan sepeda motor saja memakan waktu empat puluh lima menit. Sempat saya putus asa dan berpikir tidak akan menemukan kantor itu karena perjalanan saya yang sudah terlampau jauh, apalagi waktu telah menjelang buka. Selang lima menit kemudian saya berhasil menemukan nama intitusi yang tertera sama seperti di MP Mbak Gita. Saya Parkir motor dan tanpa ba-bi-bu saya memberanikan diri untuk langsung menuju kantornya.

Suasana kantor depan biasa saja layaknya kantor-kantor yang lain. Ruangan itu berbentuk huruf L, dengan sisi depan kanannya adalah ruang tunggu dan sisi kiri hingga kebelakang terdapat meja yang saya pikir adalah tampat informasi administrasi dan di ujung ruangan terdapat ruang-ruang yang tersekat. Mungkin ruangan itu adalah ruang kerja pejabat institusi tersebut.

“Assalamu’alaikum, apa benar salah satu pegawai di sini ada yang bernama Gita?” Begitulah saya mencoba untuk menarik informasi dari seorang perempuan berkerudung dengan wajah tirus yang menyambut kedatangan saya. Perempuan itu segera mengiyakan dan meminta saya untuk menunggu. Tidak lama kemudian seorang perempuan yang lain melintas di depan saya, saya melihat wajahnya sepintas dari balik kaca film kantor depan yang memisahkan kantor depan dengan areal parkir. Kemudian saya mengingat sebuah wajah di avatar situs kemudian dan MP, saya yakin bahwa dia adalah Mbak Gita.

Sebelum saya memperkenalkan diri, saya sempat memeprhatikan wajahnya yang cukup kebingungan melihat saya, entah karena fisik saya yang terbilang cukup bongsor atau sekelumit pertanyaan tentang siapa saya di dalam pikirannya.

“Assalamu’alaikum. Dengan Mbak Gita?” Saya menyapanya duluan dan memecahkan sedikit stagnansi yang terjadi. Dia mengangguk dan balik bertanya kepada saya.

“Saya salah satu member kemudian.com, id saya Takiyo…” Belum sempat saya melanjutkan perkenalan saya, tiba-tiba dia histeris dan membuat saya cukup kaget. Mungkin itulah ekspresi polos dari seseorang yang memang telah lama ingin rasa penasarannya terbayarkan, apalagi pertemuan kami hanyalah sebatas dunia maya. Memang sebelumnya kami membuat rencana-rencana untuk bertemu satu sama lain. Tapi memang kali itu saya mencoba untuk membuat pertemuan pertama sedikit mengesankan tanpa sepengetahuan Mbak Gita.

Saya hanya tersenyum melihat kehisterisannya dan tak sengaja mata saya tertuju kepada perempuan yang tadi menyambut saya di meja informasi, dia pun ikut tersenyum dan tertawa kecil melihat gelak Mbak Gita. Rupanya dia memperhatikan pertemuan kami.

Tidak lama kami berbincang karena pertemuan itu hanya membicarakan jadwal kopdar dengan teman-teman lainnya dan perihal apa yang perlu dibawa dalam kopdar tersebut, Mbak Gita pun menyetujuinya. Sebelum saya berpamitan kami sempat bertukar nomor kontak agar ke depannya mudah untuk berkomunikasi. Pertemuan kami berakhir biasa, namun pasti menyisakan kesan yang cukup menarik, seperti saya. Selama perjalanan menuju rumah, saya cukup kaget dengan sikap Mbak Gita. Awalnya saya pikir dia adalah orang yang cukup judes, jutek dan pedes, tapi pertemuan itu membuat saya salah besar dan berpikir sebaliknya. Mungkin selama ini saya hanya melihat sosok Mbak Gita dari foto-foto dan avatar-nya yang membuat saya berpikir demikian. Jujur, ketika saya melihat foto Mbak Gita saya merasakan aura yang memang aneh, dari mimik wajahnya saja sudah terliaht. Alisnya yang cukup tebal dan picingan matanya yang mengundang sosok amarah membuat saya bergidik. Ternyata pepatah benar adanya, don’t judge the book from its cover.

Lama kami berbincang sore itu membuat kami lupa bahwa waktu telah berjalan tiga puluh menit ke depan. Tak terasa memang, tapi kami masih perlu menunggu seorang lagi untuk memulai acara. Tak lama kemudian, seorang pria menggunakan pakaian muslim dengan tas punggung berukuran sedang yang dibawanya membuat kami sama-sama menaruh perhatian kepadanya. Sebelum ia masuk ke dalam areal parkir, masih di atas sepeda motornya ia tidak merogoh saku seperti perempuan yang saya lihat sebelumnya untuk mengeluarkan handphone dan menekan tombol-tombolnya untuk menulis sebuah pesan ataupun mencoba menghubungi seseorang. Ia hanya melirik ke arah kami dengan ekspresi sedikit bingung mencari-cari kebenaran atas rasa penasarannya. Saya dan Mbak Gita pun begitu, memandangnya dan mencoba memberikan jawaban bahwa di sinilah kami dengan ekspresi yang sama dengan pria itu dan tak lama berselang lelaki itu memarkirkan sepeda motornya bersebelahan dengan motor Mbak Gita.

Saya yakin bahwa ia adalah pria yang beberapa malam sebelumnya saya hubungi. Layaknya saya bertemu dengan Mbak Gita di kantornya, saya pun menghubungi lelaki itu dengan percakapan yang singkat perihal kopdar yang akan kami lakukan. Pria itu bernama Rizkie Rizaldy. Setelah Rizkie dan Mbak Gita berkenalan, tanpa berlama-lama lagi kami segera memesan tempat untuk berbuka shaum saat itu karena waktu semakin dekat dengan penghujung senja.

Acara di mulai dan masing-masing dari kami tidak sedikitpun yang merasa canggung, mungkin karena kuantitas dari kami saat itu terbilang minim, hanya tiga orang. Namun, suasana kekeluargaan yang terbina dalam waktu singkat itu begitu kuat. Setiap dari kami telah membawa karya dan kado untuk dibacakan dan ditukar seperti acara kopdar lainnya. Kebetulan sekali kami semua memberikan karya yang sama, yaitu puisi. Mbak Gita dengan puisi yang berjudul “Mencintaimu”, Rizkie dengan “Sahabat Maya” dan saya dengan “Lembar Kisah Sang Pujangga”. Sesi bertukar karya dan kado pun telah kami selesaikan, akhirnya kami memasuki sesi akhir dari pertemuan hari itu, sesi foto-foto. Tidak banyak foto yang kami ambil, berhubung Mbak Gita pun tidak memiliki waktu lama dalam kopdar tersebut. Berucap salam perpisahan dan mengharap akan adanya pertemuan selanjutnya mengantarkan Mbak Gita meninggalkan acara kala itu. Memang kami pun berencana untuk melakukan kopdar kembali setelah lebaran, sayangnya hal itu hanya sebatas wacana saja. Mungkin lain waktu.

Kini hanya saya dan Rizkie yang masih bertahan karena ide kopdar itu berawal dari niat untuk berbuka bersama. Tidak banyak yang dibicarakan selama kami berbuka, karena perut yang menyapa kami sedari tadi meminta untuk diselesaikan. Penghujung senja, ba’da Maghrib mengantarkan kami berpisah pada sebuah masjid. Begitulah pertemuan kami, pertemuan yang sederhana dan Insya Allah akan membekas dalam hati.

Mungkin akan lebih bijak bila kita memaknai sebuah pertemuan sebagai anugrah yang luar biasa, walau perpisahan di bagian akhirnya. Karena apa pun arti pertemuan dalam hidup kita sebagian akan menjadi metamorfosa sebuah kedewasaan dan sebagian lainnya akan membentuk sebuah stasiun kenangan.

KOPDAR Samarinda, 27 September 2008
Bandung 2008, Menjelang Pagi

0 comments:

Post a Comment